Dalam perjalanannya, Rabosore sempat beberapa kali vakum. Namun komunitas ini tidak pernah benar-benar hilang. Selalu ada generasi baru yang merasa cocok dengan suasananya, lalu mengambil peran secara alami untuk menjaga kegiatan tetap berjalan.
“Selama masih ada orang yang tertarik dengan sastra, Rabosore akan tetap hidup,” ujar Satria.
Saat ini, grup komunikasi komunitas berisi 70–80 orang, terdiri dari mahasiswa Unesa maupun peserta dari luar kampus. Tidak ada proses seleksi. Siapa pun yang ingin bergabung cukup hadir di kegiatan lapak atau menghubungi anggota yang ada di lokasi ketika lapak berlangsung.
Berbeda dengan komunitas literasi lain yang menggelar kelas atau forum khusus, Rabosore memilih cara paling sederhana, yakni lapakan. Buku digelar di atas tikar, orang datang dengan minat masing-masing.
“Format ini paling mudah dilakukan. Cukup tikar dan buku,” ujar Satria.
Baca juga: Pakar Teknologi Pendidikan Sebut Literasi AI Jadi Keterampilan Mendesak di Era Teknologi
Dari sanalah berbagai percakapan dari pengunjung dan anggota komunitas mengalir secara alami. Membahas alur sebuah buku, membicarakan tentang penulis buku, saling merekomendasikan buku, hingga perbincangan tentang relevansi buku terhadap perkembangan pemikiran mereka sehari-hari. Sifatnya yang spontan dan cair membuat lapakan menjadi ruang pertemuan yang hangat.
Buku-buku yang dibawa berasal dari koleksi pribadi anggota, kolektif komunitas, dan pinjaman dari perpustakaan prodi. Tidak ada kurasi khusus.
“Filternya datang dari pemilik buku. Kalau dia banyak membaca novel pop, ya otomatis buku yang dibawa condong ke sana,” tambahnya.
Baca juga: Generasi Muda Paling Aktif di Dunia Digital, tapi Literasi Keuangan Masih Rendah
Seiring meningkatnya antusiasme anak muda Surabaya terhadap kegiatan membaca di ruang publik, Rabosore juga mulai hadir di luar kampus. Komunitas ini beberapa kali diundang untuk membuka lapak di berbagai kegiatan, termasuk acara mahasiswa Universitas Airlangga dan kegiatan literasi di Taman Apsari, salah satu ruang terbuka yang kini kerap digunakan untuk aktivitas komunitas.
Di ruang publik seperti itu, Rabosore bertemu audiens baru. Ada yang sedang berjalan sore lalu berhenti karena penasaran, ada yang duduk sebentar, ada pula yang meminjam buku dan kembali pada pekan berikutnya.
Sabrilian Firdausa Sunarto, mahasiswa Pendidikan Matematika UINSA, adalah salah satu dari pengunjung tersebut.
“Awalnya cuma iseng lihat-lihat,” ujarnya.
Ketertarikannya tumbuh setelah melihat koleksi buku Rabosore yang berisi banyak terbitan lama.
“Penjaga lapaknya juga asyik banget yapping soal sastra Indonesia. Cocok buat yang suka bacaan klasik seperti aku,” katanya.
Kisah serupa datang dari Abby Yusuf, mahasiswa Psikologi Unesa, yang sudah mengenal Rabosore sejak semester satu. Ia pertama kali mengikuti diskusi rutin Rabosore di gedung FBS.
“Universitas tanpa buku dan lingkar diskusi, meskipun kecil, merupakan hal konyol,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa bisa terlibat dalam upaya memberdayakan pengetahuan adalah kehormatan baginya.
Meski tampak sederhana, kegiatan lapakan menyimpan tantangan tersendiri. “Bawa buku itu berat,” kata Satria, tersenyum.
Musim hujan juga sering membuat anggota harus mencari lokasi yang cukup aman untuk digelar.
Namun tantangan itu tidak mengurangi semangat para anggota.
“Setiap lapakan selalu punya ceritanya sendiri. Selalu berkesan,” ujar Satria.
Ketika ditanya apakah Rabosore merupakan komunitas yang istimewa, Satria menggeleng. Menurutnya, kegiatan membaca semacam ini mestinya menjadi hal yang lumrah, terutama di lingkungan mahasiswa.
“Kalau dianggap spesial justru miris, karena kegiatan seperti ini harusnya biasa saja,” ujarnya.
Faktanya, lapakan buku memang tidak banyak ditemukan. Kelangkaan itu membuat sebagian orang menganggap Rabosore sebagai hal yang unik, meski komunitas ini sendiri tidak pernah menempatkan diri secara istimewa.
Untuk ke depannya, Rabosore tidak menargetkan sesuatu yang besar. Tidak ada rencana mengembangkan struktur, memperluas scope, atau membuat program yang rumit.
“Ya tetap seperti ini. Ruang terbuka untuk umum, baca-baca buku, dan saling berbagi,” ujar Satria menutup perbincangan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang