KOTA BATU, KOMPAS.com - Tragedi Kanjuruhan yang menelan lebih dari 135 korban jiwa pada 1 Oktober 2022 silam, tidak hanya meninggalkan luka mendalam.
Peristiwa itu juga melahirkan berbagai bentuk perjuangan untuk mencari keadilan.
Salah satunya lahir dari dunia seni, rumah produksi Pal8 Pictures bersama Matta Cinema Production menggarap film fiksi berjudul Pintu Kanjuruhan, yang mengangkat kisah tragedi Kanjuruhan.
Kini, proyek Pintu Kanjuruhan yang akan diproduksi pada 2026 telah diperkenalkan di Busan International Film Festival di Korea Selatan.
Film ini diharapkan tidak hanya menjadi karya seni, tetapi juga perjuangan dari tragedi yang hingga kini masih menanti keadilan.
Baca juga: Peringati 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan, Keluarga Korban Demo di Depan Komnas HAM
Menariknya, salah satu penulis film fiksi ini adalah Adelia Rahma, seorang guru SMAN 1 Ngantang, Kabupaten Malang.
Dari kesehariannya mengajar di kelas, ia turut menuliskan kisah yang akan dibawa ke panggung perfilman Indonesia dan internasional.
Bukan suporter tapi dapat banyak masukan
Adelia mengaku tidak pernah membayangkan bisa terlibat dalam film Pintu Kanjuruhan ini.
Semuanya bermula dari forum penulis yang diikutinya, kemudian bekerja sama dengan rumah produksi untuk mengadaptasi karya jurnalistik menjadi film.
“Untuk proses pembuatan penulisan sejak Juli 2025 lalu dan saat ini sedang dalam proses penyempurnaan,” kata perempuan yang biasa disapa Adel itu kepada Kompas.com.
Meski bukan suporter fanatik, ia mendapat banyak masukan dari suaminya yang pernah menulis tesis tentang Arema.
Dari seringnya berdiskusi itu, ia mengenal lebih jauh detail klub dan suasana stadion.
Baca juga: Merawat Ingatan Tragedi Kanjuruhan, Mahasiswa FIB UB Gelar Pameran Seni Gugat Impunitas
“Kebetulan saya kan tidak pernah ke stadion jadi saya juga minta jelasin bagaimana cara masuknya sampai suasana di stadion,” imbuhnya.
Selain itu, ia juga mendengar banyak cerita dari teman-temannya yang merupakan suporter Arema, Aremania, sehingga semua pengalaman itu menjadi bahan berharga untuk naskah yang ditulis.
Menulis dari perspektif kemanusiaan, sepak bola hanya hiburan, nyawa tidak bisa diganti
Meski latar belakangnya bukan dari dunia sepak bola, pada film ini perempuan asli Kota Batu ini menekankan bahwa penulisan filnya dari sudut pandang kemanusiaan.
Apalagi sebagai seorang guru, ia melihat langsung dampak dari murid-muridnya yang juga suporter Arema mengalami trauma setelah tragedi Kanjuruhan itu.
“Nah siswa-siswa ku banyak yang suporter Arema. Jadi pada saat tragedi Kanjuruhan itu yang lebih dari 10 orang lumayan lah siswa-siswa ini berada di dalam stadion."
"Kemudian keesokan harinya saat pembelajaran di kelas saya melihat bagaimana trauma-traumanya mereka, ya psikis mereka benar-benar terhantam," tutur Adelia.
Baca juga: 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan, Arema FC Janji Tak Henti Berbenah
"Sehingga itu memperkaya pustaka rasa saya untuk tulisan. Bagaimana mereka harus berjuang untuk keluar dari stadion lalu melewati korban yang bergeletakan mereka semua cerita,” sambungnya.
Adelia Rahma seorang guru asal Kota Batu yang menjadi penulis film Pintu Kanjuruhan sebagai bentuk perjuangan mencari keadilan atas Tragedi Kanjuruhan yang merenggut 135 nyawa dan ratusan suporter terluka.Sebagai penulis, ia menyadari bahwa tragedi Kanjuruhan ini memiliki banyak sudut pandang, namun yang paling penting adalah menyuarakan penderitaan rakyat kecil yang menjadi korban.
“Ya sepak bola ini hiburan karena tidak sebanding dengan nyawa manusia. Kalau ngomongin Kanjuruhan itu kan banyak sekali dari sudut pandang. Baik dari sudut pandang kepentingan dan lain-lain tapi yang menjadi korban tetap rakyat kecil."
Baca juga: 1.000 Hari Tragedi Kanjuruhan, Luka Tak Kasatmata di Kaki dan Hati Bagas Satria
"Mereka itu adalah yang paling rentan nah ini menjadi kenyataan seperti itu,” ujar perempuan berusia 35 tahun.
Menulis sebagai alat perjuangan harapan untuk keadilan
Kini baginya, keterlibatan dalam film Pintu Kanjuruhan ini bukan sekadar menulis, tetapi turut berjuang mencari keadilan.
“Karena sampai saat ini belum ada keadilan yang diterima korban tragedi. Siapa pelakunya walaupun sudah ditetapkan. Kita belum menerima jawaban apapun,” kata Adelia.
Untuk itu ia berharap tragedi yang termasuk kerusuhan mematikan nomor dua di sepak bola dunia, setelah tragedi di Stadion Estadio Nacional Peru pada 1964 ini menjadi pelajaran besar bagi Indonesia agar tidak pernah terulang.
“Keadilan ditegakkan seadil-adilnya terhadap korban tragedi Kanjuruhan dan jangan sampai terulang lagi. Ini tamparan keras untuk negara kita bahwa negara kita masih gagap terhadap pengelolaan event besar, terutama bola,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang