SURABAYA , KOMPAS.com - Pakar kebijakan publik menilai imbauan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) tak menggunakan seragam dinas dan plat mobil dinas merupakan kebijakan jangka pendek yang positif.
Badan Kepegawaian Daerah Pemprov Jatim melalui surat nomor 800/5815/204.1/2025 menyarankan agar pegawai pemerintah tidak menggunakan seragam dinas dan plat mobil dinas selama satu pekan ke depan 1-4 September 2025.
Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi kejadian kurang kondusif yang terjadi belakangan ini di wilayah Surabaya dan sekitarnya.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Parlaungan Iffah Nasution atau yang akrab disapa Ucok menilai kebijakan jangka pendek ini cukup positif.
“Kalau melihat dari ketegangan sosial, politik meningkat beberapa hari terakhir ini, saya pikir ini kebijakan jangka pendek yang cukup positif,” katanya kepada Kompas.com, Senin (1/9/2025).
Baca juga: ASN Pemprov Jateng Ngantor Tak Pakai Seragam Khaki, Pelajar Semarang Diimbau Tak Ikut Demo
Menurutnya, ketegangan sosial politik yang terjadi beberapa hari belakangan cukup menggambarkan dikotomi antara pemerintah dan masyarakat yang resisten.
“Jadi amukan massa yang kemudian makin tidak terkendali itu terluapkan sasarannya pemerintah, dimana ASN-ASN yang baik di lapangan atau birokrasi itu representasi pemerintah,” ujar akademisi lulusan Georgia State University tersebut.
Lebih lanjut, Ucok mengatakan kebijakan pendek dan reaktif juga terjadi pada sekolah libur serta kampus memutuskan untuk pembelajaran daring.
“Untuk mencegah adanya tambahan korban baru. Karena demonstrasi belakangan ini rentan disusupi oleh kelompok berkepentingan memprovokasi,” bebernya.
Baca juga: 32 Sekolah di Bandung Terapkan Pembelajaran Jarak Jauh, ASN Tetap Kerja NormalBaca juga: 32 Sekolah di Bandung Terapkan Pembelajaran Jarak Jauh, ASN Tetap Kerja Normal
Kendati demikian, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair tersebut menegaskan bahwa kebijakan pendek ini tidak dapat menyelesaikan dinamika yang terjadi.
“Yang menjadi akar masalah adalah tidak adanya rasa kepercayaannya publik terhadap institusi DPR dan Polri yang dianggap tidak berpihak kepada masyarakat,” terang akademisi asal Madura tersebut.
Selain itu, akar masalah lain adalah lemahnya komunikasi pemerintah terhadap masyarakat yang dapat dilihat dari belum adanya ruang dialog efektif untuk menyerap aspirasi.
“Saya kira perlu turun langsung untuk menemui masyarakat mendengar aspirasinya. Kemudian benar-benar diterima, ditindaklanjuti, intinya secara terbuka,” terangnya
Apabila tuntutan demi tuntutan masyarakat tidak kunjung ditindaklanjuti, maka tidak menutup kemungkinan adanya reaksi gelombang massa yang muncul kembali.
“Tapi lebih dari itu, sebetulnya adalah reformasi kelembagaannya baik DPR maupun Polri bagaimana kemudian lembaga ini diatur. Secara karakteristik dia dipilih secara elektoral tetapi jangan sampai aspek merit sistemnya terlupakan,” ujarnya.
Baca juga: ASN Pemkab Banyumas Diminta Tak Pakai Seragam Dinas Imbas Demo Anarkistis
Oleh sebab itu, Ucok menyarankan agar pemerintah melakukan reformasi kelembagaan Polri dan DPR.
Kemudian Pemerintah Indonesia memperbaiki tata kelolanya terkait penegakan hukum, pengawasan, dan akuntabilitas publik.
“Jadi kebijakan apa yang direkomendasikan, reformasi kelembagaan Polri, dan DPR. Kemudian penguatan sistem kaderisasi partai. Saya kira akarnya di situ agar caleg tidak hanya bermodal uang, popularitas, tapi ada kompetensinya, ada merit basenya yang kemudian menjadi rujukan dalam pemilihan anggota dewan,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang