SIDOARJO, KOMPAS.com - Para sindikat judi online (judol) menjual data pribadi berupa KTP dan rekening Warga Negara Indonesia (WNI) ke Kamboja, Vietnam dan Taiwan.
Polresta Sidoarjo telah menangkap delapan tersangka yang tergabung dalam sindikat jual beli data pribadi sebagai sarana judol tersebut.
Mereka adalah RAK (31) warga Sidoarjo, BA (28), RWD (36), MRF (27), FI (40) warga Mojokerto, JP (29) warga Blora, ASW (25) warga Blitar dan FY (31) warga Surabaya.
Baca juga: Jual Ratusan Data Pribadi untuk Judol, 8 Orang Jadi Tersangka, Transaksi Capai Rp 5 Miliar
Tersangka pertama yang ditangkap adalah RAK yang merupakan warga Kecamatan Porong, Sidoarjo. Dalam perkembangannya, tersangka lain ikut ditangkap.
Para tersangka dari berbagai daerah mencari korban dengan acak dengan alibi untuk dijadikan nasabah dan pengaktifan rekening di M-banking.
Setelah menipu dan mengantongi data pribadi korban dengan imbalan uang sebesar ratusan hingga jutaan rupiah, tersangka lantas menjualnya ke sindikat judol yang ada di luar negeri.
“Dari data-data itu, tersangka mengirimkan ke luar negeri untuk digunakan sebagai sarana judol,” kata Kapolresta Sidoarjo, Kombes Pol Christian Tobing, Senin (11/8/2025).
Negara yang disasar untuk penjualan data KTP dan rekening tersebut adalah Kamboja, Vietnam, dan Taiwan. Sehingga, dugaan kuat kegiatan ini berpusat di luar negeri.
“Pusat kegiatannya iya ada di sana (luar negeri),” tegas Tobing.
Setidaknya, total ada ratusan data KTP dan rekening WNI yang dijual-belikan oleh tersangka. Angka tersebut bersifat sementara karena polisi masih melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Dari aksi sindikat jual beli data pribadi sebagai sarana judol ini, para tersangka mendapat keuntungan sebesar Rp 5 miliar.
Barang bukti yang diamankan yakni 61 kartu ATM dari beberapa bank, 25 buku ATM, dan 14 handphone yang digunakan sebagai sarana komunikasi.
Tersangka ini telah ditahan di Rutan Polresta Sidoarjo dan dijerat dengan Pasal 67 Ayat (1) UURI Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi Jo Pasal 55 KUHP.
“Dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang