SURABAYA, KOMPAS.com - Suasana ruang pameran di Wisma Jerman Surabaya, terasa berbeda.
Dalam remang cahaya yang nyaris senyap, warna-warni menyala dari balik kanvas, seakan lukisan-lukisan itu hidup.
Itulah karya-karya Daniel Kho dalam pameran tunggal bertajuk La Wet, sebuah perayaan visual yang tidak hanya memanjakan mata, tapi juga menggugah kesadaran.
Melalui 26 lukisan bergaya Neo Pop Art yang memanfaatkan cat fluorescent, ia tidak hanya menunjukkan kecintaan terhadap seni, tetapi juga menyuarakan keresahan terhadap kondisi lingkungan hidup.
Baca juga: Kelakar Cak Imin: NU Sudah Agak Lupa dengan Lingkungan
Ia menggandeng Wisma Jerman untuk menghadirkan pameran ini, sekaligus memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Sebab baginya pohon adalah simbol yang tidak tergantikan.
"Pohon itu paru-paru dunia. Kita hidup butuh pohon. Karena itu saya jadikan pohon sebagai simbol utama dalam karya-karya saya," ujar Daniel Kho.
Nama La Wet sendiri diambil dari bahasa Jawa, di mana wet berarti pohon. Pilihan judul ini terasa personal.
Seperti jembatan antara akar budaya lokal dan isu global yang lebih luas.
Sebab setiap lukisan yang dipamerkan bukan sekadar permainan warna cerah dan bentuk unik, melainkan medium penyampaian pesan yang kuat.
"Jika pohon terakhir kamu tebang, air terakhir kalian racuni, dan ikan terakhir kalian pancing, maka kalian akan sadar bahwa uang tidak bisa dimakan," imbuhnya mengutip pepatah suku Indian yang menjadi inspirasi dalam berkaryanya.
Baca juga: Truk Dinas Lingkungan Hidup Purworejo Tabrak 4 Kendaraan, Diduga Rem Blong
Bagi Daniel Kho, seni bukan sekadar ekspresi, tapi juga senjata untuk menyadarkan, mengingatkan bahwa bumi ini butuh dijaga.
Itulah sebabnya ia memilih tema lingkungan sebagai komitmen dalam perjalanan seninya.
"Dalam berkesenian, kita harus konsisten dengan tema. Saya memilih lingkungan, dan saya ingin terus menyuarakannya lewat karya,” kata pria asal Klaten, Jawa tengah.
Selain itu keunikan pameran ini terletak pada penggunaan cat fluorescent yang menyala dalam gelap.
Efek visual yang dihasilkan bukan hanya menarik, tetapi juga menyampaikan semacam paradoks dari kegelapan, muncul terang yang membangunkan kesadaran.
“Saya ingin pengunjung happy saat melihat karya saya, makanya saya sebut ini happy art. Warna-warna norak ini justru jadi ciri khas saya. Tidak banyak pelukis di Indonesia yang memakai cat seperti ini,” sambungnya sambil tersenyum.
Baca juga: Dorong Kesadaran Lingkungan Jamaah Haji, BPKH Perkenalkan Panduan Green Hajj
Tidak hanya warna, Daniel Kho juga bereksperimen dengan media.
Lima lukisan dalam pameran ini menggunakan daun kering sebagai bagian dari kanvas, menyatukan unsur alam secara harfiah ke dalam karya seni.
“Daun itu komponen penting dari pohon, dia yang menerima energi dari alam. Daripada daun-daun ini tidak digunakan, lebih baik saya pakai untuk membuat karya seni,” kata pria yang memiliki galeri di Bali itu.
Seniman Daniel Kho saat menjelaskan 26 karya bergaya Neo Pop-Art dalam remang cahaya yang nyaris senyap, warna-warni menyala dari balik kanvas dalam pameran tunggal bertajuk La Wet di Wisma Jerman, SurabayaUntuk menghasilkan karya ini, ia membutuhkan waktu tujuh bulan.
Proses panjang yang tidak hanya merefleksikan dedikasi terhadap karya, tetapi juga kesetiaan pada misi menjaga alam lewat bahasa visual yang menyentuh.
Seperti diketahui, perjalanan seninya tidak singkat.
Baca juga: Tren Undangan Pernikahan Digital, Lebih Praktis dan Ramah Lingkungan
Ia telah meninggalkan Indonesia sejak 1975, menetap di berbagai negara dan memperdalam seni lukis dengan beasiswa dari Jacob Eschweiler Art Foundation di Jerman.
Namanya tercatat dalam berbagai ajang internasional, termasuk konferensi lingkungan dan seni di Guatemala 18 tahun lalu.
“Waktu itu, peserta dari Eropa dan Amerika menuduh negara Asia seperti kita yang menebangi hutan. Padahal mereka yang lebih dulu menghabiskan hutan mereka sendiri. Itu jadi salah satu momen yang menguatkan saya untuk terus bersuara lewat seni,” pungkas dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang