Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"La Wet", Ketika Pohon Menyala di Kegelapan, Daniel Kho Menyuarakan Jaga Lingkungan Lewat Seni

Kompas.com, 25 Juni 2025, 09:09 WIB
Suci Rahayu,
Bilal Ramadhan

Tim Redaksi

SURABAYA, KOMPAS.com - Suasana ruang pameran di Wisma Jerman Surabaya, terasa berbeda.

Dalam remang cahaya yang nyaris senyap, warna-warni menyala dari balik kanvas, seakan lukisan-lukisan itu hidup.

Itulah karya-karya Daniel Kho dalam pameran tunggal bertajuk La Wet, sebuah perayaan visual yang tidak hanya memanjakan mata, tapi juga menggugah kesadaran.

Melalui 26 lukisan bergaya Neo Pop Art yang memanfaatkan cat fluorescent, ia tidak hanya menunjukkan kecintaan terhadap seni, tetapi juga menyuarakan keresahan terhadap kondisi lingkungan hidup.

Baca juga: Kelakar Cak Imin: NU Sudah Agak Lupa dengan Lingkungan

Ia menggandeng Wisma Jerman untuk menghadirkan pameran ini, sekaligus memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Sebab baginya pohon adalah simbol yang tidak tergantikan.

"Pohon itu paru-paru dunia. Kita hidup butuh pohon. Karena itu saya jadikan pohon sebagai simbol utama dalam karya-karya saya," ujar Daniel Kho.

Nama La Wet sendiri diambil dari bahasa Jawa, di mana wet berarti pohon. Pilihan judul ini terasa personal.

Seperti jembatan antara akar budaya lokal dan isu global yang lebih luas.

Sebab setiap lukisan yang dipamerkan bukan sekadar permainan warna cerah dan bentuk unik, melainkan medium penyampaian pesan yang kuat.

"Jika pohon terakhir kamu tebang, air terakhir kalian racuni, dan ikan terakhir kalian pancing, maka kalian akan sadar bahwa uang tidak bisa dimakan," imbuhnya mengutip pepatah suku Indian yang menjadi inspirasi dalam berkaryanya.

Baca juga: Truk Dinas Lingkungan Hidup Purworejo Tabrak 4 Kendaraan, Diduga Rem Blong

Bagi Daniel Kho, seni bukan sekadar ekspresi, tapi juga senjata untuk menyadarkan, mengingatkan bahwa bumi ini butuh dijaga.

Itulah sebabnya ia memilih tema lingkungan sebagai komitmen dalam perjalanan seninya.

"Dalam berkesenian, kita harus konsisten dengan tema. Saya memilih lingkungan, dan saya ingin terus menyuarakannya lewat karya,” kata pria asal Klaten, Jawa tengah.

Selain itu keunikan pameran ini terletak pada penggunaan cat fluorescent yang menyala dalam gelap.

Efek visual yang dihasilkan bukan hanya menarik, tetapi juga menyampaikan semacam paradoks dari kegelapan, muncul terang yang membangunkan kesadaran.

“Saya ingin pengunjung happy saat melihat karya saya, makanya saya sebut ini happy art. Warna-warna norak ini justru jadi ciri khas saya. Tidak banyak pelukis di Indonesia yang memakai cat seperti ini,” sambungnya sambil tersenyum.

Baca juga: Dorong Kesadaran Lingkungan Jamaah Haji, BPKH Perkenalkan Panduan Green Hajj

Tidak hanya warna, Daniel Kho juga bereksperimen dengan media.

Lima lukisan dalam pameran ini menggunakan daun kering sebagai bagian dari kanvas, menyatukan unsur alam secara harfiah ke dalam karya seni.

“Daun itu komponen penting dari pohon, dia yang menerima energi dari alam. Daripada daun-daun ini tidak digunakan, lebih baik saya pakai untuk membuat karya seni,” kata pria yang memiliki galeri di Bali itu.

Seniman Daniel Kho saat menjelaskan 26 karya bergaya Neo Pop-Art dalam remang cahaya yang nyaris senyap, warna-warni menyala dari balik kanvas dalam pameran tunggal bertajuk La Wet di Wisma Jerman, SurabayaKOMPAS.com/SUCI RAHAYU Seniman Daniel Kho saat menjelaskan 26 karya bergaya Neo Pop-Art dalam remang cahaya yang nyaris senyap, warna-warni menyala dari balik kanvas dalam pameran tunggal bertajuk La Wet di Wisma Jerman, Surabaya

Untuk menghasilkan karya ini, ia membutuhkan waktu tujuh bulan.

Proses panjang yang tidak hanya merefleksikan dedikasi terhadap karya, tetapi juga kesetiaan pada misi menjaga alam lewat bahasa visual yang menyentuh. 

Seperti diketahui, perjalanan seninya tidak singkat.

Baca juga: Tren Undangan Pernikahan Digital, Lebih Praktis dan Ramah Lingkungan

Ia telah meninggalkan Indonesia sejak 1975, menetap di berbagai negara dan memperdalam seni lukis dengan beasiswa dari Jacob Eschweiler Art Foundation di Jerman.

Namanya tercatat dalam berbagai ajang internasional, termasuk konferensi lingkungan dan seni di Guatemala 18 tahun lalu.

“Waktu itu, peserta dari Eropa dan Amerika menuduh negara Asia seperti kita yang menebangi hutan. Padahal mereka yang lebih dulu menghabiskan hutan mereka sendiri. Itu jadi salah satu momen yang menguatkan saya untuk terus bersuara lewat seni,” pungkas dia.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Wisatawan Lansia Dipungli 'Uang Pengawalan' Rp 150.000 di Bangsring Banyuwangi, Sempat Ketakutan
Wisatawan Lansia Dipungli "Uang Pengawalan" Rp 150.000 di Bangsring Banyuwangi, Sempat Ketakutan
Surabaya
M Zaki Ubaidillah, Pemain Muda Asal Madura Raih Perak SEA Games, Sang Ayah Doakan Jadi Juara Dunia
M Zaki Ubaidillah, Pemain Muda Asal Madura Raih Perak SEA Games, Sang Ayah Doakan Jadi Juara Dunia
Surabaya
Kesaksian Tour Leader di Bangsring Banyuwangi: Pelaku Ancam, Jika Tak Bayar, Bus Tak Bisa ke Luar
Kesaksian Tour Leader di Bangsring Banyuwangi: Pelaku Ancam, Jika Tak Bayar, Bus Tak Bisa ke Luar
Surabaya
Sebagian Rombongan Wisata Korban Pemalakan di Bangsring Underwater Banyuwangi Ternyata Lansia
Sebagian Rombongan Wisata Korban Pemalakan di Bangsring Underwater Banyuwangi Ternyata Lansia
Surabaya
Banjir Genangi Jalan Pantura Baluran Situbondo, Arus Lalu Lintas Melambat
Banjir Genangi Jalan Pantura Baluran Situbondo, Arus Lalu Lintas Melambat
Surabaya
Rombongan Wisatawan Disandera dan Dipalak Rp 150.000, Pemkab Banyuwangi: Pelaku Bukan Pengelola Resmi
Rombongan Wisatawan Disandera dan Dipalak Rp 150.000, Pemkab Banyuwangi: Pelaku Bukan Pengelola Resmi
Surabaya
Pelaku Pungli 'Uang Pengawalan' Bus Wisata di Banyuwangi Dikenai Sanksi Wajib Lapor
Pelaku Pungli "Uang Pengawalan" Bus Wisata di Banyuwangi Dikenai Sanksi Wajib Lapor
Surabaya
Ditangkap Polisi, 2 Pelaku Pungli Bus Pariwisata di Banyuwangi Minta Maaf
Ditangkap Polisi, 2 Pelaku Pungli Bus Pariwisata di Banyuwangi Minta Maaf
Surabaya
Polisi Ciduk 2 Penyandera Bus Wisata di Banyuwangi, Pengakuan Pelaku: Beli Sembako untuk Warga
Polisi Ciduk 2 Penyandera Bus Wisata di Banyuwangi, Pengakuan Pelaku: Beli Sembako untuk Warga
Surabaya
Bus Pariwisata di Banyuwangi Ditahan Preman karena Tak Bayar 'Uang Pengawalan', Penyandera Ditangkap
Bus Pariwisata di Banyuwangi Ditahan Preman karena Tak Bayar "Uang Pengawalan", Penyandera Ditangkap
Surabaya
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Surabaya
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Surabaya
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Surabaya
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Surabaya
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau