MALANG, KOMPAS.com – Eks Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) periode 2017–2021 Awan Setiawan menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan tanah.
Awan melakukan pembelaan atas penetapan status tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
Melalui Kuasa Hukum Awan, Didik Lestariyono menyampaikan bahwa penetapan status tersangka kepada Awan itu dinilai prematur, tidak proporsional, dan tidak mencerminkan prinsip due process of law dalam sistem hukum yang adil.
Menurutnya, pengadaan tanah yang menjadi objek perkara telah dilakukan secara terbuka, akuntabel, serta berdasarkan mekanisme dan regulasi yang berlaku.
"Tanah seluas 7.104 m² yang berlokasi di Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru, tepat berdampingan dengan aset milik Polinema, merupakan bagian integral dari Rencana Induk Pengembangan (RIP) Polinema 2010–2034,” kata Awan, Kamis (12/6/2025).
Baca juga: Korupsi Pengadaan Tanah Perluasan Kampus, Eks Direktur Politeknik Negeri Malang Ditahan
“Letaknya strategis, kondisi fisiknya datar dan siap bangun, sehingga secara teknis sangat ideal untuk pengembangan sarana pendidikan tinggi vokasi,” imbuhnya.
Didik menyebut, tanah yang dibeli senilai Rp 6.000.000 per meter persegi sekaligus pajaknya itu dinilai wajar.
Hal ini mengacu pada data harga pasar dari instansi resmi, seperti kelurahan, kecamatan, dan Kantor Pertanahan (BPN).
Proses jual beli juga ditangani sepenuhnya oleh Tim Pengadaan Tanah (dikenal sebagai “Tim 9”), yang dibentuk melalui Surat Keputusan Direktur dan terdiri dari pejabat struktural Polinema.
"Mereka bertanggung jawab atas seluruh tahapan, mulai dari survei lokasi hingga penetapan harga dan transaksi,” urainya.
Baca juga: 10 Politeknik Terbaik di Indonesia Tahun 2023, Ada PENS dan Polinema
Didik menegaskan bahwa dalam proses jual beli itu, Awan Setiawan tidak pernah melakukan negosiasi langsung dengan pemilik atau penjual tanah.
Selain itu, kewajiban perpajakan, termasuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) maupun Pajak Penghasilan (PPh) dari pihak penjual, ditanggung sepenuhnya oleh pemilik tanah, bukan oleh Polinema.
“Ini merupakan bukti bahwa tidak ada pengeluaran negara di luar ketentuan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Didik mengatakan bahwa pengadaan itu telah ditindaklanjuti dengan penandatanganan Akta Pelepasan Hak, dan lahan tersebut telah resmi disertifikatkan atas nama negara serta tercatat dalam daftar Barang Milik Negara (BMN).
“Maka, secara hukum, administratif, dan faktual, tanah tersebut telah sah menjadi bagian dari aset negara,” terangnya.
Ia menilai bahwa perkara itu muncul bukan karena kesalahan dalam proses pengadaan.
Tetapi karena penghentian pembayaran sisa harga oleh pimpinan Polinema periode selanjutnya.
Sehingga menimbulkan sengketa perdata, sampai akhirnya dibawa ke ranah pengadilan oleh pemilik tanah.
Mahkamah Agung Republik Indonesia, melalui putusan kasasi, menyatakan bahwa transaksi jual beli tanah tersebut sah secara hukum dan mengikat secara keperdataan.
Sampai saat ini, belum ada satu pun hasil audit dari BPK maupun BPKP yang menyatakan adanya kerugian negara.
"Maka, menetapkan seseorang sebagai tersangka tanpa dasar kerugian negara yang jelas adalah tindakan yang tergesa-gesa dan tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum,” ujar dia.
Baca juga: Dugaan Korupsi Pengadaan Obat di Puskesmas Buru Selatan, Polisi Tetapkan 3 Tersangka
Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus Politeknik Negeri Malang (Polinema) pada Rabu (11/6/2025) malam.
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim, Saiful Bahri Siregar mengatakan penahanan tersebut dilakukan setelah pemeriksaan maraton di ruang Pidana Khusus Kejati Jatim sejak siang hari.
Saiful mengatakan, penetapan tersangka itu dilakukan karena pengadaan tanah untuk perluasan kampus yang dilakukan pada tahun 2019 itu tidak melibatkan panitia pengadaan tanah.
"Namun pada 2020, pelaku Awan menerbitkan surat keputusan panitia pengadaan tanah, setelah ada kesepakatan harga dengan Hadi," ujarnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang