SURABAYA, KOMPAS.com - Sejak pagi, Rabu (20/5/2025), ribuan driver ojek online memadati jalanan Surabaya untuk melakukan aksi demonstrasi. Mereka datang dari berbagai penjuru Jawa Timur mulai dari Gresik, Sidoarjo, Malang, hingga Kota Pahlawan sendiri.
Aksi ini merupakan bagian dari gelombang protes nasional yang dilakukan serentak di berbagai daerah. Mereka menuntut keadilan tarif, regulasi yang berpihak dan kejelasan nasib di tengah ketergantungan terhadap aplikasi.
Sorak massa dan deretan poster tuntutan mengalir dan berhenti di depan Kantor Gubernur Jawa Timur. Namun, di antara lautan jaket hijau yang melakukan aksi, tampak satu sosok yang justru duduk diam di pinggir jalan, tidak jauh dari lokasi aksi.
Namanya Setiabudi, datang bukan untuk berorasi, melainkan sekadar mampir memberi semangat pada teman-temannya.
“Ya sejak pagi tadi saya tetap narik dan tidak matiin aplikasi," kata pria asal Sukodono, Sidoarjo, itu kepada Kompas.com.
Baca juga: Demo Ojol di Surabaya Berakhir Damai, Demonstran: Beruntung Pemprov Jatim Buka Mediasi
"Ini pekerjaan utama saya sehari-hari. Ini pas lewat daerah sini saya mampir untuk melihat teman-teman yang sedang aksi,” imbuh dia.
Ia tahu betul apa yang sedang diperjuangkan. Sebab, ia pun ikut merasakan getirnya kebijakan yang belakangan banyak dikeluhkan para driver ojol, terutama soal program layanan hemat dari salah satu aplikator.
Meski program tersebut memang bersifat opsional. Namun, dampaknya cukup besar bagi pendapatan.
Jika mendaftar maka setiap dua order layanan hemat, penghasilan driver akan dipotong Rp 2.000. Di mana seharusnya pelanggan membayar minimal Rp 8.000, dalam skema hemat tarif turun menjadi Rp 6.500.
“Itu tidak paksaan, yang mau daftar di aplikasi. Kalau tidak mau ya tidak ada layanan hemat itu,” kata Setiabudi.
“Iya saya ikut, tapi kadang saya batasi. Kalau sudah dua orderan, saya matikan program hematnya. Tapi enggak mesti juga,” sambung dia.
Meski penghasilannya dipangkas, ia mengakui bahwa program hemat mempercepat aliran order. Sebaliknya, jika tidak mengaktifkannya, order bisa lama masuk.
Baca juga: Kisah Retno, Guru Honorer Lulusan S2 Kampus Negeri di Malang Sekaligus Jadi Lady Ojol
"Sejauh ini total 80 persen paling banyak orderan dari layanan program hemat, makanya banter. Jadi ya pinter-pinter menyiasatinya saja,” ujar dia.
Ia lantas mengenang masa-masa awal menjadi ojol, ketika insentif dari aplikator masih cukup menjanjikan.
“Waktu masih baru-baru ya dipotong Rp 4.000, tapi kan ada insentif. Kalau tujuh orderan dapat tambahan Rp 21.000. Lebih dari itu ditambah-tambah."
"Kalau sekarang kan tidak ada, sulit untuk dapat insentif, apalagi sekarang driver-nya tambah banyak,” tutur pria berusia 54 tahun itu.
Setiabudi pun menceritakan sebelum menjadi pengemudi ojol, ia adalah karyawan di PT Maspion. Namun, krisis ekspor membuat perusahaan itu mengambil kebijakan pensiun dini.
Ia sempat kembali mencoba peruntungan di pabrik, tapi usaha itu kandas, dan pada tahun 2018 resmi terkena PHK.
Sebab, usia yang sudah tak lagi muda, peluang kerja lain semakin terbatas. Maka, sejak itu, ia menggantungkan hidup sepenuhnya dari ojol. “Full ojol saja, tidak ada sampingan,” kata dia.
Soal transisi dari gaji tetap ke penghasilan harian, ia menjalaninya dengan cara yang sederhana, nyaris tanpa keluhan.
“Ya dijalani saja bagaimana lagi, tidak ada pekerjaan. Ya untuk bertahan sesuai pemasukan dan mengurangi pengeluaran."
"Kalau tidak ada yang penting dan tidak ada gunanya, tidak usah mengeluarkan uang,” ujar bapak dua anak itu.
Seorang polisi turut mengatur kelancaran aksi ribuan ojek online yang berlangsung di Surabaya, Selasa (20/5/2025) siang.Apalagi uang pesangon yang diterima dulu digunakan untuk pendidikan anak-anaknya. Kini, anak sulungnya sedang kuliah, sedangkan si bungsu duduk di bangku kelas IV SD.
Untuk kebutuhan harian, hanya dari ojek online ia bertumpu. Ia memang tidak punya target pasti, tapi berusaha konsisten mencapai minimal harian.
“Selama ini saya membuat target sendiri, sehari harus dapat Rp 100.000, tapi kadang tidak dapat juga. Tidak semua driver orderannya bagus. Kadang ada yang sehari cuma dapat Rp 50.000 saja, kurang,” sambung dia.
Baca juga: Cerita Horor Driver Ojol Asal Malang: Terima Uang Berubah Jadi Daun dan Nyasar ke Hutan
Kini, dengan motor andalannya, Setiabudi bertekad terus melaju di jalan yang tidak selalu ramah dan penghasilan yang tidak menentu.
Ia tetap menjalaninya dengan ketabahan dan memilih bersyukur serta tetap menjaga nilai-nilai spiritual dalam kesehariannya, salah satunya dengan rutin berpuasa Senin-Kamis.
“Ngapain sambat-sambat, enggak ada solusi, malah enggak dapat apa-apa. Karena itu ya jalani kita. Pokoknya bekerja halal,” kata pria yang sehari-hari menjalani ojol mulai pagi hingga sore.
“Ya dijalani saja,” cetus dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang