SURABAYA, KOMPAS.com - Di tengah keterbatasan ekonomi, anak tukang becak bernama Siti Nur Khodijah berhasil meraih gelar magister dari Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya.
Siti Nur Khodijah menjadi wisudawan terbaik dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan (FKIP) program studi Bahasa Indonesia di Unitomo Surabaya pada Sabtu (26/5/2025) kemarin.
Perjuangannya tak mudah. Ia harus mengumpulkan kepingan tekad untuk menjadikan dirinya sebagai perempuan cerdas meski terlahir dari seorang tukang becak.
Tak pernah terpikirkan di benak Siti untuk sampai menempuh pendidikan di bangku perkuliahan, bahkan hingga menambah gelar magister di pundaknya.
Baca juga: Nenek 69 Tahun Bangga Diwisuda di Sekolah Orangtua Hebat, Belajar Parenting untuk Cucu
"Sejak SMP saya sudah berpikir, rasanya tidak mungkin saya bisa menempuh pendidikan formal, apalagi sampai S2, lulus sampai SMK saja sudah bersyukur," kata dia.
Siti menceritakan, biaya kuliah sangat mahal dan membebani perekonomian keluarganya.
Kedua orangtua dan kakaknya hanya lulusan SD, dan merantau ke Surabaya sejak Siti masih kecil.
"Saat saya SMK, saya selalu berdoa dan berharap agar bisa memberikan senyuman terbaik untuk ayah dan ibu saya dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tanpa membebani keluarga," ujar Siti.
Doa Siti dan kedua orang tuanya akhirnya terjawab. Siti mendapatkan beasiswa KIP di Unitomo untuk pendidikan sarjananya, dan beasiswa magister dari Rektor Unitomo, Prof. Siti Marwiyah.
Tidak hanya berjuang menjadi perempuan berprestasi, Siti juga harus berjuang melawan penyakit tumor Fibroadenoma saat menduduki semester III.
Selama menempuh pendidikan di Unitomo, Siti biasa berjalan kaki atau bersepeda ontel menuju kampus. Namun, karena mengalami masalah kesehatan, ia harus menjalani operasi.
Baca juga: Cerita Bapak dan Anak Diwisuda Bareng di Unair, Dapat Pembimbing Sama
"Allah sayang sama saya, dengan memberikan penyakit Fibroadenoma dan harus dioperasi," ucap Siti.
Sejak saat itu, rutinitas Siti berubah. Dari yang semula jalan kaki dan naik sepeda, ia harus naik becak, diantar oleh ayahnya yang bekerja sebagai tukang becak.
Tak ada kata malu di dalam kamus hidup Siti. Ayahnya adalah pahlawannya yang tak pernah menyerah dan meninggalkan dirinya untuk berjuang sendirian.
"Sempat ada orang yang melihat saya sama bapak, dan mengira saya adalah penumpang setia bapak yang setiap hari bekerja sebagai tukang becak," tutup Siti sambil meneteskan air mata.
Siti memberikan kado terbaik sebelum diwisuda dengan menerbitkan buku berjudul "Mahir Berpidato" yang diterbitkan oleh Ruang Karya.
Kisah Siti menjadi inspirasi bagi banyak orang, membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi bukanlah penghalang untuk meraih mimpi.
"Saya ingin membuktikan bahwa anak tukang becak juga bisa meraih mimpi," cetus dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang