SURABAYA, KOMPAS.com - Mudik memang menjadi salah satu tradisi di Indonesia dalam menyambut perayaan hari raya Idul Fitri yang memiliki kesan istimewa karena dapat berkumpul kembali bersama keluarga besar.
Setelah melewati momen penuh kebahagiaan di hari Lebaran, kini saatnya bagi para pemudik, khususnya mahasiswa rantau, untuk kembali melanjutkan aktivitas mereka di perantauan.
Tidak hanya saat balik ke kampung halaman, tetapi juga momen kembali ke kota perantauan pastinya membutuhkan pengorbanan, mulai dari tenaga, waktu, dan biaya yang tidak sedikit.
Maka dari itu, banyak dari masyarakat, terkhususnya mahasiswa rantau, yang mulai menabung jauh-jauh hari agar bisa pulang kampung saat Lebaran.
Baca juga: Perjalanan Berjam-jam, Warga Madiun Balik Mudik ke Singaraja Bali dari Terminal Bungurasih
Salah satunya, Nurul (22), mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, yang setiap tahunnya harus mengumpulkan uang beberapa bulan sebelum Lebaran agar dapat pulang kampung halamannya di Lombok.
Nurul mengungkapkan bahwa biasanya dia mengumpulkan uang dari hasil kerjanya sebagai asisten lab di jurusannya.
“Aku biasanya pakai uang insentif dari lab sih, ya meskipun tidak seberapa, tapi aku terus kumpulin buat beli tiket PP (pulang-pergi),” katanya saat ditemui Kompas.com di stasiun Gubeng, Surabaya, Rabu (9/5/2025).
Meskipun hampir setiap bulannya dia selalu mendapatkan kiriman uang dari kedua orangtuanya, Nurul tetap memilih untuk menggunakan uang pribadinya sebagai persiapan biaya untuk mudik.
“Sebenarnya bisa saja sih kalau mau minta dikirimin orangtua (untuk biaya mudik), tapi enggak enak aja kalau minta terus, udah kuliah dibayarin, tiap bulan dikasih uang, ya masa harus minta lagi,” tuturnya.
Ia memilih menggunakan moda transportasi kereta untuk perjalanan dari Yogyakarta ke Surabaya.
Baca juga: Arus Wisata dan Mudik di Puncak Bogor Terlewati, Skema One Way Dihentikan
Kemudian, dilanjutkan menggunakan jalur laut dari Surabaya ke Lombok dengan total biaya keseluruhan untuk tiket PP sekitar Rp 700.000.
Walaupun perjalanan yang ditempuh lebih lama, Nurul tidak pernah menggunakan pesawat karena biaya yang dibutuhkan jauh lebih mahal.
“Kalau pesawat untuk biaya baliknya saja rute Yogyakarta-Lombok itu Rp 2 juta, jadi kalau tiket PP sekitar Rp 4 juta, kan selisihnya jauh banget,” kata dia.
Setiap kali mudik, dia harus menempuh waktu perjalanan sekitar 4 jam dari Yogyakarta-Surabaya, serta sekitar 20 jam dari Surabaya-Lombok.
“Biasanya yang paling bikin capek itu sewaktu menunggu jam keberangkatan seperti sekarang ini, tapi kalau sudah di kendaraan biasanya lebih nyaman karena bisa istirahat,” ujar Nurul.
“Kalau sekarang sih sudah terbiasa, jadi dinikmati saja,” katanya.
Oleh sebab itu, Nurul selalu menyiasati dengan tidak membawa perbekalan yang banyak, bahkan biasanya dia hanya membawa satu buah tas ransel tanpa koper.
“Kalau oleh-oleh juga sudah tidak pernah bawa, mungkin pas awal-awal kuliah saja. Begitupun sewaktu balik dari Lombok ke Yogyakarta biasanya orangtua nyuruh aku buat bawa makanan banyak, tapi aku enggak mau, biar tidak berat-berat bawaannya,” tuturnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Fauzan (20), mahasiswa perantau asal Bekasi yang harus selalu menyisakan sekitar Rp 300.000 hingga Rp 400.000 untuk biaya pulang kampung.
“Biasanya berbulan-bulan sebelum Lebaran selalu menyisihkan uang jajan untuk beli tiket kereta dari Surabaya-Bekasi dan sebaliknya, sebulan kadang nabung Rp 50.000, Rp 75.000, atau kalau lagi irit banget bisa sampai Rp 100.000,” kata Fauzan.
Ia mengaku segan jika harus meminta uang mudik ke orangtuanya. “Kan setiap bulannya sudah dikirim uang, enggak enak saja kalau harus minta uang lagi untuk pulang kampung,” ujarnya.
Selain itu, Fauzan pernah terpaksa tidak bisa mudik karena persediaan uangnya telah habis digunakan untuk kegiatan perkuliahan.
“Pernah sewaktu dua tahun lalu karena saat itu semester 3 dan 4 banyak banget tugas proyek yang butuh dana tambahan, jadi yang seharusnya ada uang sisa, malah habis. Ya aku bilangnya ke orangtua tidak bisa pulang karena banyak tugas proyek,” katanya.
Untuk tahun ini, dia bersyukur karena kembali bisa menikmati libur Lebaran sekitar dua minggu di kota kelahirannya.
Selain bisa berkumpul dengan keluarga, Fauzan juga akhirnya bisa mencicipi masakan ibunya lagi.
“Kalau ngekos makanan harus nyari sendiri, tapi kalau di rumah tidak perlu mikir karena selalu dimasakin mama,” ujarnya sembari tersenyum.
Baca juga: Cerita Warga Deli Serdang Kehabisan Tiket Pesawat saat Puncak Arus Mudik
Hari Lebaran menjadi waktu yang ditunggu-tunggu karena ia dapat berkumpul dan berbagi cerita dengan keluarga.
"Ketika Lebaran itu kan hari kebahagiaan ya, jadi ketika Lebaran itu yang ditunggu-tunggu momen berkumpul sama keluarga. Bisa saling sharing, saling ngobrol,” ujar Fauzan.
Perasaan sedih ini pun tidak menghentikannya untuk kembali berkuliah di Surabaya, memenuhi tanggung jawabnya sebagai mahasiswa.
“Sebenarnya sempat ditahan orangtua buat tinggal seminggu lagi karena aku kan mahasiswa semester akhir, jadi jadwal masuknya lebih fleksibel, tapi enggak bisa karena juga banyak yang harus diselesaikan,” katanya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang