SURABAYA, KOMPAS.com - “Pintu pelintasan 17 sudah tertutup baik”
Laporan itu disampaikan oleh Dimas, salah satu petugas Penjaga Jalan Lintasan (PJL) Pos 17, Jalan Jagir Wonkromo, Surabaya, Jawa Timur, melalui handy talkie kepada pos komando pusat.
Tugas yang dia lakukan terkesan sepele, hanya duduk dan naik-turunkan palang, tetapi memiliki risiko paling besar.
Banyak orang tidak menyadari bahwa keberadaan para petugas PJL memiliki peranan besar dalam mencegah terjadinya kecelakaan di pelintasan kereta api.
Baca juga: Arus Mudik di Jalan Tol Turun, One Way Diubah Hanya Sampai Exit Tol Bawen
Terdapat segudang cerita yang tersimpan di balik pengorbanan petugas PJL untuk tidak mudik Lebaran, demi membantu kelancaran mudik masyarakat.
Di balik bangunan berukuran 3x4 yang terletak di ujung palang kereta, Dimas mulai membagikan pengalamannya saat menjaga posko selama masa mudik Lebaran.
Baca juga: Puncak Arus Mudik, 24.000 Kendaraan Lintasi GT Amplas Medan
Pria 27 tahun itu mengaku, saat pertama kali dirinya bertugas sebagai PJL sekitar lima tahun yang lalu, terdapat perasaan sedih sekaligus bersalah karena tidak dapat pulang mengunjungi keluarga.
“Sewaktu awal-awal yang lumayan sedih sih, apalagi waktu ngelihat orang-orang yang lain pergi untuk ketemu keluarga, sedangkan saya di sini harus tetap kerja,” kata Dimas saat ditemui Kompas.com, Rabu (26/3/2025).
Ditambah lagi, tahun pertama ia bekerja menjadi tahun terberatnya. Sebab, sekitar dua minggu sebelum memasuki Ramadhan tahun 2020, Dimas mendapati kabar bahwa sang ayah telah berpulang ke Rahmatullah.
“Jadi saat itu saya sedang jaga sekitar siang hari dapat kabar kalau bapak sesak napas, dibawa ke rumah sakit, langsung meninggal kena serangan jantung,” ungkapnya.
“Ya kaget banget, sedih rasanya karena tidak bisa balik ke Tuban, tapi pekerjaan tetap tidak bisa ditinggalkan,” sambungnya.
Ia mengaku tidak bisa langsung mengajukan izin kerja karena saat itu banyak rekan kerjanya yang juga sedang sakit terkena Covid-19 sehingga tidak ada pengganti.
“Pada saat saya dapat kabar (bapak meninggal) juga tidak ada yang bisa gantikan saya karena banyak teman-teman juga yang sakit,” jelasnya.
Namun, keesokan harinya Dimas mengajukan cuti dua hari untuk membantu proses pemakaman.
“Tapi ya tetap ada sedikit rasa bersalah karena tidak bisa menemani bapak di momen terakhirnya,” ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Mengingat tahun 2020 di mana angka Covid-19 di Surabaya masih sangat tinggi, sehingga dia tidak dapat pulang kampung untuk merayakan Ramadhan dan Lebaran bersama keluarga.
“Meskipun saat itu pemerintah melarang untuk mudik Lebaran, tapi kan jalur pelintasan untuk kereta barang itu ramai, jadi ya harus tetap kerja,” ujarnya.
Meski begitu, Dimas bersyukur karena memiliki keluarga yang mendukung dan sangat memahami tentang kondisi pekerjaannya.
“Alhamdulillah istri dan keluarga memahami sih, risiko pekerjaan saya seperti ini, mau gimana lagi,” tuturnya.
Saat tidak bisa pulang kampung, Dimas biasanya hanya bertukar salam melalui video call.
“Biasanya kalau Lebaran tidak pulang, ya video call sih sama orang tua, saudara, keluarga yang lain, ngobrolnya lewat situ,” ujarnya.
Ia menjelaskan, tidak ada perubahan jam kerja selama bulan Ramadhan-Lebaran dengan hari biasa.
Ada tiga sif kerja yang diterapkan, yakni pukul 06.00-14.00 WIB, 14.00-22.00 WIB, dan pukul 22.00-06.00 WIB.
Ia menyebut, intensitas kereta selama momen hari raya bisa mencapai 115 kali dalam sehari, lebih tinggi dibandingkan hari biasa yang hanya sekitar 105 kali dalam sehari.
“Jadi memang penjagaan harus lebih intens, lebih waspada, lebih ketat,” ucapnya.
Seperti halnya di Lebaran tahun ini, Dimas lagi-lagi harus menjaga pelintasan sebidang.
Dirinya baru akan mendapatkan waktu libur Lebaran sekitar H+7 Hari Raya Idul Fitri.
“Biasanya istri bakal ikut saya, istri saya kan asalnya dari Madura, tapi kalau dia memang ada urusan di sana ya kadang istri balik kampung duluan,” kata pria kelahiran asli Surabaya itu.
Bahkan, menurutnya, sebuah keberuntungan jika dia mendapatkan jatah libur tepat di momen Lebaran.
Salah satunya di tahun 2024 di mana Dimas memperoleh jatah libur tepat di hari pertama Idul Fitri.
“Senang banget sih tahun kemarin, lagi hoki (beruntung) aja karena bisa kumpul bareng-bareng,” lanjutnya.
Hal yang paling dia rindukan saat Lebaran tiba yakni makan opor ayam sembari mengobrol bersama sanak saudara.
“Karena saya sama saudara yang lain sebenarnya jarang komunikasi, sebab masing-masing juga sudah kerja. Jadi sekalinya ngumpul selalu meriah,” tuturnya sembari tersenyum semringah.
Meski tak bisa pulang kampung, namun ia berharap agar momen hari kemenangan tahun ini dapat dijalankan dengan penuh sukacita.
Dimas juga berpesan agar para pengendara tetap mematuhi segala tata tertib berlalu lintas, serta memastikan segalanya dalam kondisi aman untuk berkendara agar selamat sampai tujuan.
“Tetap patuhi lalu lintas yang ada, nikmati saja perjalanannya agar tetap selamat sampai tujuan,” tutupnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang