Mengingat tahun 2020 di mana angka Covid-19 di Surabaya masih sangat tinggi, sehingga dia tidak dapat pulang kampung untuk merayakan Ramadhan dan Lebaran bersama keluarga.
“Meskipun saat itu pemerintah melarang untuk mudik Lebaran, tapi kan jalur pelintasan untuk kereta barang itu ramai, jadi ya harus tetap kerja,” ujarnya.
Meski begitu, Dimas bersyukur karena memiliki keluarga yang mendukung dan sangat memahami tentang kondisi pekerjaannya.
“Alhamdulillah istri dan keluarga memahami sih, risiko pekerjaan saya seperti ini, mau gimana lagi,” tuturnya.
Saat tidak bisa pulang kampung, Dimas biasanya hanya bertukar salam melalui video call.
“Biasanya kalau Lebaran tidak pulang, ya video call sih sama orang tua, saudara, keluarga yang lain, ngobrolnya lewat situ,” ujarnya.
Ia menjelaskan, tidak ada perubahan jam kerja selama bulan Ramadhan-Lebaran dengan hari biasa.
Ada tiga sif kerja yang diterapkan, yakni pukul 06.00-14.00 WIB, 14.00-22.00 WIB, dan pukul 22.00-06.00 WIB.
Ia menyebut, intensitas kereta selama momen hari raya bisa mencapai 115 kali dalam sehari, lebih tinggi dibandingkan hari biasa yang hanya sekitar 105 kali dalam sehari.
“Jadi memang penjagaan harus lebih intens, lebih waspada, lebih ketat,” ucapnya.
Seperti halnya di Lebaran tahun ini, Dimas lagi-lagi harus menjaga pelintasan sebidang.
Dirinya baru akan mendapatkan waktu libur Lebaran sekitar H+7 Hari Raya Idul Fitri.
“Biasanya istri bakal ikut saya, istri saya kan asalnya dari Madura, tapi kalau dia memang ada urusan di sana ya kadang istri balik kampung duluan,” kata pria kelahiran asli Surabaya itu.
Bahkan, menurutnya, sebuah keberuntungan jika dia mendapatkan jatah libur tepat di momen Lebaran.
Salah satunya di tahun 2024 di mana Dimas memperoleh jatah libur tepat di hari pertama Idul Fitri.