SURABAYA, KOMPAS.com - Epilepsi adalah masalah pada sistem saraf pusat yang menyebabkan ganguan kejang.
Diagnosis epilepsi biasanya diketahui setelah seseorang mengalami kejang berulang dalam waktu 24 jam tanpa ada masalah kesehatan tertentu.
Masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa epilepsi merupakan penyakit yang menular.
Oleh karenanya, banyak dari ODE (Orang Dengan Epilepsi) yang mendapatkan stigma buruk sehingga mereka akan dikucilkan dari lingkungan sosial.
Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi Delyma Asyndar (54), wanita paruh baya yang telah bertahan menjalani hidupnya sebagai ODE selama lebih dari 30 tahun.
Baca juga: Berjuang dalam Diam, Kisah Masruro Merawat Putra Penyandang Epilepsi di Pelosok Madura
Delyma terlahir sebagai bayi yang sehat. Dia tumbuh besar sebagai gadis yang ceria dan mudah bergaul dengan orang lain.
Namun, kisah hidupnya berubah ketika Delyma berusia dua belas tahun atau menginjak kelas 6 SD. Ia sempat terjatuh dan kepalanya terbentur.
“Waktu itu belum ada gejala yang terlalu signifikan terlihat, cuma ada laporan dari sekolah setiap kali saya jatuh itu selalu pingsan” tutur dia.
Kala itu, orangtuanya masih menganggapnya sebagai hal yang biasa. Sampai pada akhirnya, Delyma mengalami kejang di seluruh tubuhnya.
Mulai saat itu, gadis kelahiran Kota Tulungagung tersebut mendapatkan rujukan dari rumah sakit setempat untuk melakukan pemeriksaan ke dokter saraf di Surabaya.
Ketika sampai di Surabaya, Delyma bertemu dengan Prof Troeboes Poerwadi dan saat itu dirinya langsung didiagnosis mengidap epilepsi.
“Saya juga kurang ingat bagaimana reaksi orang tua saat itu, tapi kalau saya pribadi karena masih kecil juga (saat itu) jadi sewaktu didiagnosis kalau punya penyakit epilepsi, saya hanya bilang ‘oh apa itu epilepsi?’. Kemudian saya disuruh untuk rutin minum obat,” ujarnya.
Baca juga: Apakah Penderita Epilepsi Bisa Memiliki Anak? Ini Kata Dokter
Namun tidak seperti para penyintas pada umumnya, nasib baik mempertemukan Delyma karena selalu ditemani oleh orang-orang yang mendukung penuh dirinya.
Sejak hari itu, kedua orang tuanya tidak pernah sekali pun memandang dirinya berbeda, serta tetap memberikan dukungan semaksimal mungkin untuk pengobatannya.
“Sejak hari itu saya selalu konsultasinya sama dokter Troeboes. Orang tua saya selalu support untuk mengantarkan saya bolak-balik ke Surabaya kalau jadwalnya konsultasi,” ujarnya.
Selain itu, dia juga tidak pernah merasa dikucilkan oleh teman-teman maupun tetangga sekitarnya.
Dirinya tetap bisa menjalankan hari-harinya bersekolah, bermain, bimbel layaknya anak normal seusianya.
Sudah menjadi jadwal rutin setiap satu sampai dua kali dalam sebulan, orang tua Delyma harus datang ke sekolah karena mendapatkan telepon dari gurunya ketika dia pingsan.
“Teman-teman sekolah saya malah bilangnya ‘ya emang kenapa kalau kamu sakit?’, jadi mereka justru mendukung,” ungkapnya.
Bahkan, dirinya pernah kambuh saat sedang bermain sepeda di sekitar kampung. Namun, para tetangganya justru berusaha menolong dan hanya menganggap Delyma pingsan karena terjatuh dari sepeda.
Baca juga: Menjalin Hubungan dengan Penderita Epilepsi, Ini yang Harus Kamu Ketahui
“Mungkin juga karena biasanya saya kambuh itu malam sebelum tidur, itu pun jarang sebulan paling banyak hanya dua kali. Jadi kebanyakan orang juga enggak tahu bagaimana saya kambuh,” ujarnya.
Upayanya untuk mengontrol kejangnya adalah dengan menerapkan 5K, alias tidak boleh kedinginan, kelelahan, kehausan, kelaparan, dan kepikiran (stres).
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ia masih merasakan tanda-tanda seperti hendak kejang, salah satunya perasaan tidak enak yang menjadi “alarm” bahwa ia akan kejang.
Biasanya, Delyma selalu langsung menghentikan segala kegiatan dan beristirahat saat tanda-tanda yang dia sebut dengan “aura” itu muncul.
“Tapi pada saat kuliah, saya pernah kambuh lagi. Waktu itu saya dibonceng saudara saya naik motor selepas pulang dari JMP (Jembatan Merah Plaza) karena perubahan suhu di dalam mal yang dingin, sedangkan suhu di luar panas banget."
"Lalu, saya merasakan ‘aura’ itu tadi, akhirnya saya minta minggir, terus ada tukang becak yang juga nolongin,” ujarnya.
“Tapi saat itu untungnya enggak sampai jatuh, jadi begitu minggir saya langsung pegangan tiang. Beberapa menit setelah itu sadar lagi,” lanjut Delyma.
Baca juga: Idap Epilepsi, Arvin Dijauhi Teman, Dianggap Bawa Penyakit Menular
Menurutnya, penting untuk bersikap terbuka tidak hanya kepada keluarga tetapi juga terhadap teman-teman dan tetangga atau masyarakat sekitar.
Memang hal tersebut tidaklah bagi para penyintas. Namun, orang-orang disekitarnya dapat membantu apabila kejangnya kambuh.
“Daripada disembunyikan, kemudian suatu hari kita kambuh di tempat umum dilihat tetangga atau orang lain malah semakin malu. Lebih baik bilang diawal,” ucapnya.
Meskipun begitu, tidak dipungkiri bahwa Delyma juga pernah memiliki pengalaman pahit terkait stigma terhadap ODE.
Dia menceritakan pernah dikeluarkan dari program Kuliah Kerja Mahasiswa (KKM) di Semarang karena penyakit yang dideritanya.
“Awalnya saya pernah sekali kambuh di kampus karena kecapekan, terus ada dosen saya yang tahu kalau saya punya epilepsi."
"Akhirnya sewaktu ada program KKM itu saya dikeluarkan, mungkin takutnya kalau di sana saya kambuh malah bikin malu atau gimana,” kata Delyma.
Mulanya, Delyma menduduki peringkat kedua dari seluruh mahasiswa se-fakultas yang mengikuti program KKM.
Tetapi, dirinya tiba-tiba dikeluarkan dan digantikan dengan mahasiswa lain yang merupakan anak dosen, meskipun peringkatnya jauh di bawahnya.
Baca juga: VNS, Teknologi Baru untuk Penderita Epilepsi di Indonesia
“Awalnya saya kaget, kok nama saya gak ada. Lalu, ada senior saya yang beritahu ke saya kalau pak dosen itu harus cancel saya karena (saya) punya epilepsi. Ya sudah, mau bagaimana lagi,” tuturnya.
Kini, sudah sekitar 42 tahun Delyma rutin mengonsumsi obat dan melakukan penerapan 5K. Ia juga melakukan konsultasi setiap sebulan sekali.
Dia mengaku mendapatkan efek samping dari obat berupa berat badan yang semakin bertambah.
“Sejak dokter Troeboes sakit kan saya direkomendasikan beliau untuk ke dokter Wardah. Sejak itu obat saya juga diganti, tapi efek sampingnya badan saya semakin gemuk. Akhirnya ditambahkan satu obat lagi untuk mengontrol berat badan,” ucapnya.
Delyma bersyukur bahwa dia menjadi satu di antara sedikitnya ODE yang mempunyai support system yang baik. Hal tersebut yang menjadikan dirinya percaya diri dan terus berkarya tanpa ada batasan.
“Alhamdulillah dari orang tua saya tidak pernah memandang saya berbeda. Mereka selalu berusaha protect saya, tapi bukan yang overprotect dan tetap memberikan saya kebebasan."
"Itu yang mungkin juga membuat saya tetap secure dengan keadaan saya,” ungkap Delyma.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang