SURABAYA, KOMPAS.com - Sakit kepala luar biasa menyerang bocah 11 tahun yang baru saja menyelesaikan Ujian Nasional tingkat sekolah dasar di sebuah SD di Surabaya, sekitar tahun 2006.
"Rasanya cenat-cenut di kepala, saya pikir kecapean karena habis Unas, tapi ternyata ya itu puncaknya," kenang Arvin Widiawan yang kini sudah berusia 30 tahun, kepada Kompas.com, Jumat (14/3/2025).
Warga Kecamatan Gunung Anyar, Surabaya ini sedang menceritakan, bagaimana dia pertama kali mengetahui bahwa dirinya mengidap penyakit epilepsi.
Baca juga: Cerita Hamka, Belasan Tahun Berusaha Berdamai dengan Epilepsi
Epilepsi adalah gangguan saraf yang ditandai dengan kejang berulang yang tidak terduga. Kejang ini bisa terjadi pada seluruh atau sebagian tubuh, dan bisa disertai penurunan kesadaran.
"Awal epilepsi, habis Unas masih tegang, saya pikir buat main game harapannya biar lebih rileks. Tapi ternyata otak saya tambah tegang," kata Arvin lagi.
"Sebelum itu, enggak pernah merasakan (epilepsi) jadi orangtua kaget juga," sambung dia.
Menyadari kondisi itu, orangtua Arvin lantas mengantarnya untuk memeriksakan diri ke sebuah rumah sakit untuk mencari kepastian. Ketika itu, dia diminta untuk mengonsumsi berbagai jenis obat secara rutin.
Baca juga: Menghapus Stigma, Membangun Kemandirian untuk Penderita Epilepsi
"Ya harus terus minum obat, mengetahui jam berapa (minumnya) lalu obat yang mana, ada empat sampai lima jenis obat, dokter yang ngatur dosisnya. Harus hati-hati, jangan kecapean," ungkap dia.
Arvin mengungkapkan, sakitnya tersebut akan kambuh ketika dia menjalani aktivitas otak yang terlalu berat. Tak heran, dia kerap mengalami epilepsi di tengah pelajaran di sekolah.
"Mayoritas teman terdekat jadi agak menjauh, baru kelihatan mana teman yang tulus itu di saat saya kambuh. Hanya beberapa yang mau mendampingi dan menolong saya," ucap dia.
Arvin pun sejak saat itu harus menjalani masa sulit dalam rentang waktu yang panjang, yakni sejak duduk di bangku SMP sampai berkuliah.
Bahkan, dia pernah dianggap menyebarkan penyakit sampai kesurupan. "Orang-orang enggak mau mendekat alasannya takut ketularan," kata dia.
Baca juga: Jalan Berliku Tri Handayani Sembuhkan Epilepsi Sang Putri
"Ada yang bilang penyakit kutukan, sama kesurupan. Tiga tuduhan ini yang paling sering saya terima," ucap dia.
Arvin merasa, hingga kini pun masyarakat masih kurang peduli dengan para penderita epilepsi yang ada di sekitar.
Padahal, menurut dia, para penderita epilepsi sangat membutuhkan bantuan ketika penyakitnya kambuh.