SURABAYA, KOMPAS.com – Epilepsi masih menjadi penyakit yang kerap menimbulkan stigma negatif di masyarakat. Padahal, dengan perkembangan teknologi medis, pengobatan epilepsi kini semakin maju.
Salah satu terobosan terbaru adalah Vagus Nerve Stimulation (VNS), sebuah teknologi implan yang dapat membantu mengontrol kejang pada penderita epilepsi.
VNS adalah alat pacu saraf yang berfungsi seperti pacemaker untuk jantung, tetapi ditujukan untuk otak.
Alat ini ditanam di bawah kulit di dekat saraf vagus di leher bagian kiri, lalu mengirimkan impuls listrik secara berkala ke otak untuk mengurangi frekuensi kejang.
Baca juga: Cerita Hamka, Belasan Tahun Berusaha Berdamai dengan Epilepsi
Menurut dr. Heri Subianto, spesialis bedah saraf dari National Hospital Neuroscience Center (NHNC), Surabaya, teknologi ini sudah dikembangkan sejak tahun 1997 dan diadopsi di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa.
Namun, Indonesia baru mulai secara resmi menggunakan VNS pada 5 November 2023.
Tidak semua penderita epilepsi perlu menggunakan VNS. Alat ini direkomendasikan untuk pasien drug-resistant epilepsy, yaitu epilepsi yang tidak dapat dikendalikan dengan dua atau lebih jenis obat.
Baca juga: Menghapus Stigma, Membangun Kemandirian untuk Penderita Epilepsi
Selain itu, pasien dengan epilepsi fokal (kejang yang berasal dari satu area otak) atau epilepsi general (kejang di seluruh otak) juga bisa menjadi kandidat.
“Pada beberapa kasus, seperti sindrom Lennox-Gastaut, Dravet syndrome, dan Rett syndrome, pemasangan VNS telah terbukti mengurangi frekuensi kejang hingga 50–90 persen,” jelas dr. Heri.
Setelah dipasang, VNS tidak langsung berfungsi maksimal. Proses pengaturan (programming) dilakukan secara bertahap agar tubuh dapat beradaptasi.
"Biasanya, efeknya mulai terasa dalam 6 bulan hingga 1 tahun. Pasien perlu melakukan kontrol bulanan untuk penyesuaian stimulasi," kata dr. Heri.
Keunggulan lain dari teknologi ini adalah kemampuan pemrograman jarak jauh melalui telekonsultasi, sehingga pasien tidak perlu sering datang ke rumah sakit untuk melakukan penyesuaian.
Seperti prosedur medis lainnya, pemasangan VNS memiliki beberapa efek samping ringan.
Menurut penelitian terbaru pada 2024, risiko utama setelah pemasangan VNS adalah suara serak (hoarseness) saat alat aktif, batuk ringan, kesemutan, dan napas pendek.
Namun, efek ini umumnya berkurang dalam waktu 1–3 tahun.
"Keamanan alat ini sudah teruji. Sebelum mendapat izin edar, VNS telah melalui empat tahap uji klinis yang ketat," tegas dr. Heri.
Meskipun dapat mengurangi kejang, VNS bukanlah pengobatan yang menyembuhkan epilepsi.
Teknologi ini termasuk dalam terapi paliatif, yaitu terapi yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien.
"Setelah menggunakan VNS, pasien tetap harus mengonsumsi obat epilepsi. Namun, dosis obat dapat dikurangi secara bertahap setelah kejang lebih terkendali," jelasnya.
VNS menggunakan baterai yang rata-rata bertahan 5–10 tahun.
Setelah habis, baterai bisa diganti dengan prosedur yang lebih sederhana dibandingkan pemasangan awal.
Dengan hadirnya VNS, harapan baru bagi penderita epilepsi di Indonesia semakin terbuka. Teknologi ini tidak hanya membantu mengurangi kejang tetapi juga memungkinkan pasien untuk lebih aktif dalam kehidupan sehari-hari.
"Epilepsi bukanlah penghalang untuk menjalani hidup yang produktif. Dengan pengobatan yang tepat, penderita epilepsi tetap bisa beraktivitas dan berkarya," tutup dr. Heri.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang