SURABAYA, KOMPAS.com - Aksi "Indonesia Gelap" yang diinisiasi para mahasiswa dan tagar #KaburAjaDulu yang kini ramai di media sosial dinilai merupakan bentuk kekecewaan rakyat atas situasi negara saat ini.
Aksi ini bertujuan untuk meyuarakan sejumlah tuntutan agar pemerintah melakukan pembenahan terhadap sejumlah kebijakan yang dianggap serampangan. Contohnya, efisiensi anggaran, Makanan Bergizi Gratis (MBG), dan koalisi kabinet gemuk Prabowo-Gibran.
Bahkan, fenomena #IndonesiaGelap mengakibatkan adanya demonstrasi oleh 2.500 mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia yang mengajukan 13 tuntutan terkait program dan kebijakan yang dinilai berdampak buruk bagi masyarakat.
Baca juga: Mengapa Kabur Aja Dulu Mungkin Tidak Berdampak?
Dosen S1 Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Aditya Fahmi Nurwahid, menyebutkan, kedua fenomena ini saling berkaitan, tetapi bukan merupakan hubungan sebab akibat.
Adanya aktivisme digital yang dilakukan oleh kelompok intelektual mulai dari mahasiswa, pekerja, hingga kelas menengah mendorong aksi Indonesia Gelap tersebut.
“Kalau #KaburAjaDulu lebih ke narasi ‘sudah jangan di Indonesia dulu karena sedang enggak kondusif’, tapi kalau Indoensia Gelap lebih mendorong perubahan sikap pemerintah. Ada hubungannya, tapi tidak langsung linear,” jelasnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (27/2/2025).
Baca juga: Zulhas Sebut Warga yang Mau Kabur Aja Dulu Justru Cinta Tanah Air
Hal tersebut yang menjadikan isu Indonesia Gelap menjadi meledak karena permasalahan yang dibicarakan relevan untuk semua elemen masyarakat.
“Jadi orang yang mendengarkan langsung lebih sadar terkait masalahnya apa saja dan memang ada buktinya, bukan hanya awareness saja bahwasanya Indonesia sedang tidak baik-baik saja,” ucap Fahmi.
Selain itu, pria yang pernah menempuh pendidikan magister di Wuhan Univeristy, China, itu mengaku mendukung dengan adanya tren #KaburAjaDulu untuk pengembangan kapasitas diri di luar negeri.
Menurutnya, secara simbolik #KaburAjaDulu bukan bermakna tidak ingin menjadi warga Indonesia, tetapi hanya sebagai tempat ‘mengungsi’ sementara ke luar negeri.
“Ketidakpuasaan terhadap pemerintah itu menjadi pemicu baru saja kenapa orang mau ke luar negeri. Padahal, sebelumnya juga banyak sekali alasan-alasan lain mengapa masyarakat kita sudah banyak yang ‘kabur’ terlebih dahulu, sebelum ngomongin tentang hal yang lebih politis,” tuturnya.
Dia berharap bahwa keinginan untuk ke luar negeri tidak didorong atas dasar kemuakan terhadap kebijakan pemerintah, tetapi keinginan untuk berkarya, belajar, dan mengembangkan kemampuan diri untuk menjadi manusia yang lebih baik.
“Hal ini seharusnya menjadi pemicu teman-teman untuk meluruskan niat kabur, justru seharusnya Anda dapat merepresentasikan Indonesia, mulai dari kulturnya, budayanya, makanannya, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Dengan viralnya berbagai isu tersebut, tak jarang pemerintah juga turut memberikan komentarnya. Namun, komentarnya justru bernada sinis.
Contohnya, Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau akrab disapa Noel mengaku tidak peduli dengan tagar #KaburAjaDulu.
“Mau kabur, kabur ajalah. Kalau perlu jangan balik lagi, hi-hi-hi,” ungkap Noel seraya tertawa, seperti dikutip Kompas.com.
Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menepis anggapan masyarakat terkait tagar Indonesia Gelap dengan mengatakan, “Kalau ada yang bilang itu Indonesia gelap, yang gelap kau bukan Indonesia. Jadi kita jangan terus mengeklaim sana-sini”.
Merespons tanggapan pejabat publik tersebut, beberapa pelajar diaspora Indonesia di luar negeri juga ikut berkomentar.
Salah satunya Muhammad Hariz Izzudin, mahasiswa pertukaran pelajar program Japan Student Services Organization (JASSO) di Kagawa Institute of Technology.
Dia mengungkapkan, seharusnya pemerintah dapat meredam situasi panas yang sedang dihadapi Indonesia saat ini, bukan justru dilawan.
“Seharusnya bisa memberikan statement yang lebih bijak saja ya, misalnya oke enggak apa-apa Kabur Aja Dulu, tapi nanti balik lagi ke Indonesia untuk memberikan kontribusi,” terangnya.
Sebab, bagi dia, “kabur” ke luar negeri bukan menjadi satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah yang ada di Indonesia.
“Jadi bukan karena ada masalah atau ada orang-orang yang kurang kompeten kemudian mau Kabur Aja Dulu,” jelasnya.
Sementara itu, Mylv Amanda, atau Amor sapaan akrabnya, warga Indonesia yang saat ini sedang menempuh pendidikan sarjana (S1) di University of Lille, Perancis, menilai melalui komentar-komentar tersebut semakin menunjukkan sikap defensif dari para pejabat publik.
“Kelihatan jelas banget kalau mereka tuh enggak bisa melihat perspektif rakyat. Padahal, kan tugas pejabat dan pemerintah melayani rakyat, jadi seharusnya mereka terbuka dong untuk kritik dan saran,” kata Amor.
Bagi dia, fenomena tersebut sangat menarik karena menunjukkan kekuatan media sosial dalam menyebarkan dan membangun kesadaran tentang isu-isu politik dan sosial sehingga dapat berdampak nyata.
“Aku berharap saja bahwa semangat untuk perubahan ini enggak hanya untuk sekarang aja orang-orang yang memposting enggak hanya posting sekadar ikut-ikutan atau FOMO, tapi juga berpartisipasi dalam gerakan-gerakan nyata,” ucapnya.
Selaras dengan itu, Dosen Magister Perekonomian Islam dan Industri Halal Unesa, Maryam Bte Badrul Munir, yang juga merupakan mantan pelajar diaspora Universitas Sains Islam Malaysia, mengatakan bahwa pemerintah tidak berhak untuk menilai nasionalisme rakyatnya berpindah ke luar negeri.
“Kalau kita memperhitungkan nasionalisme warga Indonesia di luar negeri, kenapa kita tidak juga memperhitungkan naisonalisme dari yang ada di dalam negeri?” ungkap Maryam.
Namun, dalam menanggapi soal isu Indonesia Gelap, Maryam menyarankan agar masyarakat memberikan ruang bagi pemerintah untuk bertumbuh dan membenahi diri.
“Toh juga masa pemerintahan yang sekarang belum satu tahun. Pemerintah masih memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk berpendapat, jadi coba kasih ruang juga untuk pemerintah bertumbuh,” tuturnya.
“Jadi saya rasa daripada memperkeruh keadaan lebih baik buktikan dengan apa yang kamu bisa lakukan,” tambahnya.
Bahkan, ia menuturkan, seharusnya aksi protes yang dilakukan para mahasiswa tidak perlu berdemo sampai ramai-ramai turun ke jalanan.
“Saya tidak bisa menyalahkan 100 persen juga, protes itu boleh, hanya saja tata cara berdemo bukan lagi beramai-ramai turun ke jalanan sehingga ada akses yang membuat aktivitas masyarakat terganggu,” terangnya.
Melalui berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, dirinya berharap agar masyarakat, khususnya para generasi muda untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial.
“Jangan hanya ikut-ikutan hashtag, tetapi tidak sesuai konteks,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang