Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Nenek Yati Belasan Tahun Tinggal di Rumah Beratap Langit, Rehab Terbentur Status Lahan

Kompas.com, 20 Februari 2025, 06:01 WIB
Sukoco,
Icha Rastika

Tim Redaksi

MAGETAN, KOMPAS.com – Mendung hitam mulai bergayut ketika tangan renta Yati (70), warga Desa Pelem, Kecamatan Kartoharjo, Kabupaten Magetan, Jawa Timur membuka pintu tripleks yang sudah rapuh menyambut Kompas.com yang menyambangi rumahnya.

Sesekali wajah Yati terlihat mendongak ke atas memastikan mendung yang bergayut tak menjadi hujan.

“Kalau sudah mendung begini, khawatir hujan. Harus siap-siap untuk berteduh di rumah tetangga,” ujarnya Rabu (19/2/2025).

Kekhawatiran Yati beralasan.

Setelah Kompas.com masuk ke rumah berukuran 4x6 tersebut, rumah itu tak memiliki atap lagi karena genting yang tersisa hanya beberapa biji yang menyangkut di antara reng bambu yang sudah lapuk.

Baca juga: Bupati Kukar Ingin Turunkan Angka Kemiskinan lewat Bedah Rumah

Yati mengaku sudah belasan tahun terpaksa tinggal di rumah yang dibangun sejak anak ketiganya lahir hingga saat ini memiliki tiga anak itu. 

“Saya sudah lupa berapa tahun, tapi rumah ini dibangun suami saya setelah pulang dari Jakarta. Ingat saya sejak anak ketiga saya, Ayu, lahir. Sekarang sudah punya tiga anak, tapi saya tidak tahu di mana keberadaannya sekarang,” ucapnya dengan suara lirih.

Yati mengaku tak mengingat kedua orangtuanya karena sejak kecil dia merupakan anak yang diadopsi oleh keluarga di Jakarta hingga dia bekerja di sejumlah pabrik untuk menyambung hidupnya.

Dia juga mengaku tak bisa sekolah karena kondisi ekonomi keluarga angkatnya.

Saat bekerja di salah satu pabrik di Jakarta, dia mengaku bertemu dengan suaminya, Warsini, yang berasal dari Kabupaten Magetan, dan menikah.

“Sejak menikah sampai punya dua anak, kami sering pindah kontrakan kerja serabutan sampai akhirnya pulang ke sini karena anak ketiga saya mau lahir,” tuturnua. 

Membangun rumah mungil

Di Desa Pelem, suaminya Warsini membangun rumah mungil dengan sumur di bagian belakang rumah.

Setelah anak ketiga lahir, suaminya kembali ke Jakarta untuk bekerja.

Hingga saat ini, rumah yang dibangun perlahan hancur. Yati mengaku tak tahu lagi keberadaan suaminya.

“Suami saya berkali-kali menikah, tapi sampai saat ini saya tidak pernah bertemu lagi. Sampai rumah yang dia bangun ini hancur, saya tetap tinggal di sini,” kata Yati sambil terlihat air mata di sudut matanya.

Baca juga: Wujudkan Pemerataan Rumah Layak Huni, Pemkab HST Jalankan Bedah Rumah di Daerah Rawa

Meski mengaku hidup sulit, dia mengaku bisa membesarkan anak-anaknya hingga anak pertamanya menyusul bapaknya ke Jakarta dan hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya.

Sementara itu, anak keduanya yang sudah menikah saat ini mengontrak rumah di desa lain karena hanya bekerja sebagai buruh bangunan.

Adapun anak ketiganya yang sudah memiliki tiga anak juga sempat mengontrak rumah yang tak seberapa jauh dari rumahnya saat ini.

“Kalau malam saya dulu numpang tidur di rumah kontrakan anak, tapi karena tidak enak, mereka juga ngontrak sekarang, ya numpang di rumah siapa saja,” ucapnya sambil menyeka air matanya.

Bergantung hidup dari belas kasihan

Untuk menyambung hidup, Yati mengaku hanya bisa bergantung pada belas kasihan tetangganya.

Sesekali dia mengaku diajak salah satu perangkat desa untuk mendapatkan bantuan.

Dia mengaku sedih dan bingung harus ke mana menghadapi hidupnya.

Satu-satunya harapan adalah dengan menempati rumah yang dibangun suaminya meski kondisinya saat ini hanya beratap langit.

“Saya juga bingung harus bagaimana. Kemarin ada tawaran dari desa untuk tinggal di SD, tapi saya tidak kerasan,” ujarnya.

Suti, salah satu warga Desa Pelem yang memiliki warung, mengaku sering disambati Yati untuk meminjam uang maupun sembako untuk menyambung hidupnya.

Dia mengaku kadang trenyuh melihat kondisi tetangganya tersebut karena tetap bertahan di rumah yang atapnya sudah ambruk belasan tahun lalu.

“Saya kan pedagang kecil, kadang bisa minjami uang atau beras, tapi kadang ya trenyuh kalau tidak bisa minjami uang. Dulu sempat direhab atapnya oleh pemerintah desa, tapi rusak lagi,” katanya.

Baca juga: Sumsel Luncurkan Gerakan Bedah Rumah Serentak, Ada 8.391 Unit Rumah Akan Direnovasi

Rehab rumah terkendala status lahan

Kasi Pelayanan Desa Pelem, Harto mengatakan, Yati masih tercatat sebagai warga Desa Pelem dengan nama Yatinem. Ia berstatus cerai dari suaminya Warsi.

Dia mengaku kondisi rumah Yatinem sudah diusulkan untuk mendapatkan program rehabilitasi rumah layak huni ke pemerintah daerah, tetapi sayangnya status tanah yang ditempati rumah Yatinem bermasalah.

“Sudah kita usulkan untuk program rehabilitasi rumah, tapi terkendala status tanah. Keluarga suaminya tidak mengizinkan untuk rehabilitasi rumah di situ,” katanya.

Meski demikian, Harto memastikan bahwa Yatinem merupakan warga yang tercatat sebagai penerima manfaat program beras dari Bapanas serta menerima program Kasih Bunda.

“Yang tahu pasti mbak Triana itu, tapi sudah menerima bantuan beras dan program Kasih Bunda,” ucapnya.

Yati bertahan di rumah bertap langit saat siang hari, saat malam hari dia menginap di rumah tetangganya yang mau menampungnya.KOMPAS.COM/SUKOCO Yati bertahan di rumah bertap langit saat siang hari, saat malam hari dia menginap di rumah tetangganya yang mau menampungnya.

Sementara itu, Kabid Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kabupaten Magetan, Sutrisno memastikan pemerintah daerah sudah berupaya memberikan bantuan untuk tinggal di shelter milik pemerintah daerah, tetapi Yati menolak.

Menurutnya, desa juga pernah menawarkan pembangunan kamar layak huni di lahan aset desa, tetapi Yati juga menolak.

“Pernah kita kunjungi dengan tawaran tinggal di shelter rumah lansia Glodok, yang bersangkutan tidak mau. Desa mau membangunkan kamar layak huni di lahan aset desa, dia juga tidak mau. Yang bersangkutan penerima bantuan Bunda Kasih,” ucapnya.

Berharap ikut anak

Di ruang utama rumah berukuran 2x3 meter yang tampak terang benderang oleh cahaya matahari yang kembali muncul, terdapat meja kecil tempat menaruh piring dan sendok yang bersebelahan dengan tungku kecil tempat memasak.

Perabot rumah yang terlihat agak bagus adalah lemari yang berada di sudut ruang tengah berukuran 2x1 meter yang ditutupi plastik bagian atasnya agar hujan tak cepat merusak kayu.

“Biar tidak kena hujan, isinya ya cuma baju sekedarnya,” ujar Yati dengan sesekali memeriksa mendung yang telah kembali menghilang.

Yati berharap bisa hidup kembali dengan anak-anaknya. Namun, mengingat hidup anaknya yang susah saat ini, dia mengaku memilih mengubur impiannya tersebut.

Saat ini, dia memilih tinggal di satu-satunya sisa harta miliknya, rumah yang tak beratap.

“Pinginnya ikut anak perempuan saya, tapi saat ini saya tidak tahu di mana keberadaannya,” kata Yati membawa tatapannya menerawang ke langit.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Wisatawan Lansia Dipungli 'Uang Pengawalan' Rp 150.000 di Bangsring Banyuwangi, Sempat Ketakutan
Wisatawan Lansia Dipungli "Uang Pengawalan" Rp 150.000 di Bangsring Banyuwangi, Sempat Ketakutan
Surabaya
M Zaki Ubaidillah, Pemain Muda Asal Madura Raih Perak SEA Games, Sang Ayah Doakan Jadi Juara Dunia
M Zaki Ubaidillah, Pemain Muda Asal Madura Raih Perak SEA Games, Sang Ayah Doakan Jadi Juara Dunia
Surabaya
Kesaksian Tour Leader di Bangsring Banyuwangi: Pelaku Ancam, Jika Tak Bayar, Bus Tak Bisa ke Luar
Kesaksian Tour Leader di Bangsring Banyuwangi: Pelaku Ancam, Jika Tak Bayar, Bus Tak Bisa ke Luar
Surabaya
Sebagian Rombongan Wisata Korban Pemalakan di Bangsring Underwater Banyuwangi Ternyata Lansia
Sebagian Rombongan Wisata Korban Pemalakan di Bangsring Underwater Banyuwangi Ternyata Lansia
Surabaya
Banjir Genangi Jalan Pantura Baluran Situbondo, Arus Lalu Lintas Melambat
Banjir Genangi Jalan Pantura Baluran Situbondo, Arus Lalu Lintas Melambat
Surabaya
Rombongan Wisatawan Disandera dan Dipalak Rp 150.000, Pemkab Banyuwangi: Pelaku Bukan Pengelola Resmi
Rombongan Wisatawan Disandera dan Dipalak Rp 150.000, Pemkab Banyuwangi: Pelaku Bukan Pengelola Resmi
Surabaya
Pelaku Pungli 'Uang Pengawalan' Bus Wisata di Banyuwangi Dikenai Sanksi Wajib Lapor
Pelaku Pungli "Uang Pengawalan" Bus Wisata di Banyuwangi Dikenai Sanksi Wajib Lapor
Surabaya
Ditangkap Polisi, 2 Pelaku Pungli Bus Pariwisata di Banyuwangi Minta Maaf
Ditangkap Polisi, 2 Pelaku Pungli Bus Pariwisata di Banyuwangi Minta Maaf
Surabaya
Polisi Ciduk 2 Penyandera Bus Wisata di Banyuwangi, Pengakuan Pelaku: Beli Sembako untuk Warga
Polisi Ciduk 2 Penyandera Bus Wisata di Banyuwangi, Pengakuan Pelaku: Beli Sembako untuk Warga
Surabaya
Bus Pariwisata di Banyuwangi Ditahan Preman karena Tak Bayar 'Uang Pengawalan', Penyandera Ditangkap
Bus Pariwisata di Banyuwangi Ditahan Preman karena Tak Bayar "Uang Pengawalan", Penyandera Ditangkap
Surabaya
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Surabaya
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Surabaya
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Surabaya
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Surabaya
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau