Untuk UMKM, hanya mendapatkan kuota 15 tabung elpiji per bulan, sementara rumah tangga dibatasi hanya 5 tabung.
Kini, setelah tiga hari aturan baru berjalan, Rahmat Hidayat pun mengalami kendala dalam pasokan gas elpiji.
Karena selama tiga bulan ini, laporan harian yang dikirim ke Pertamina melebihi kuota.
"Alhamdulillah, saya malah tidak dapat kiriman. Karena dalam tiga bulan terakhir, laporan penjualan saya melebihi kuota yang ditentukan. Pelanggan saya banyak dari kalangan pedagang kecil yang butuh gas lebih dari kuota yang ditetapkan," ujar pria yang juga menjalankan usaha jual es kristal dan galon.
"Ya, kurang realistis dalam seminggu, hanya dijatah 70 tabung, sementara permintaan dari pelanggan saya jauh lebih tinggi, jadi tiga hari sekali saya order lagi," sambungnya.
Sebagai agen elpiji, Rahmat berharap Pertamina bisa mengkaji ulang aturan distribusi elpiji agar lebih adil.
Ia mengaku pengecer masih berperan penting dalam membantu masyarakat mendapatkan elpiji dengan mudah.
"Lagi-lagi yang kena semprot agen. Saya berharap aturan dibuat lebih manusiawi. Kalau bicara keuntungan, sebenarnya keuntungan agen itu tipis. Harga jual sudah ditentukan, tidak boleh lebih. Kalau ada yang lapor kita jual lebih dari Rp 18.000, izin bisa dicabut," kata Rahmat.
"Saya sering dapat laporan pelanggan yang kehabisan stok lalu beli di warung kelontong dengan harga mahal. Ini yang perlu dikaji oleh Pertamina agar harga tetap stabil. Kalau pengecer dilarang berjualan elpiji, maka agen harus lebih diperhatikan, supaya masyarakat tidak kesulitan," ujar Rahmat.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang