Dengan senang hati dan sekuat tenaga, dia sempat mendatangi rumah pelanggan yang memintanya mencukur rambut.
“Tahun 2000 an masih ada 125 orang. Setiap pelanggan yang datang itu pasti saya catat, nama dan alamatnya. Jadi sering diminta datang,” ucap ayah dua anak tersebut.
Seiring berjalannya waktu bisnis barbershop di Surabaya semakin menjamur. Eddy mulai kehilangan banyak pelanggan.
Kursi cukurnya yang berjumlah tujuh pun menjadi sangat jarang dijamah. Anehnya, kursi yang diimpor oleh ayahnya langsung dari China itu masih awet, tak berkarat dan tetap berfungsi sampai detik ini.
Sembari menunggu pelanggan yang datang, Eddy rajin membersihkan kursi, kaca, meja, alat-alat cukur, westafel dan tempat cuci rambut setiap saat. Ubin teraso yang terbuat dari campuran marmer dan pecahan granit itu dipel setiap pagi dan sore.
“Kalau atap ini dikapur. Terus kursi besi ini dikasih pemulas supaya nggak mudah berkarat. Kayu-kayu semua ini dilap kain basah kemudian kain kering,” jelas Eddy sambil menunjukkan kursi besi yang masih bisa diotak-otik itu.
Secara keseluruhan perabot-perabot yang ada di Shin Hua Barbershop asli sejak tahun 1911. Hanya sebagian kecil saja yang diperbarui untuk mempercantik tampilan.
Maklum saja, Shin Hua Barbershop saat ini bukan hanya sebatas tempat cukur rambut tapi kadang dikunjungi wisatawan yang ingin melihat keontetikannya.
Sayangnya, usahanya yang semakin sepi dan dihantam pandemi Covid-19 membuat Eddy babak belur. Akhirnya dia memutuskan untuk menyewakan tempat ini dengan nama yang sama, Shin Hua Barbershop kepada orang lain.
“Sekarang yang mengelola bukan saya, tapi orang Batam. Tahu tempat ini dari youtube dan mau nyewa. Setahun 30 juta tapi untuk pajak dan listrik kami bagi dua. Karena saya tinggal di lantai atas,” tutur pria berambut putih itu.
Selain faktor ekonomi dan usianya yang menginjak 74 tahun, ada hal lain yang membuat Shin Hua Barbershop hanya berhenti di generasi kedua. Menurut cerita Eddy, untuk menghindari balak, orang Tiongkok membangun bisnis hanya cukup di generasi kedua, yakni Tan Shin Tjo dan Eddy Koestanto.
“Itu cerita dari Tiongkok sana. Terbukti kan, ada pandemi Covid-19. Jadi saya nggak memaksakan anak saya untuk meneruskan ini, terserah mereka mau usaha apa. Karena prinisp saya dalam berbisnis itu hanya untuk membesarkan uang,” paparnya.
Saat lahir, Eddy berstatus sebagai warga negara China. Kemudian, selepas ayahnya meninggal pada tahun 1975, usianya yang beranjak dewasa mulai bisa memilih jalan hidupnya sendiri. Dia akhirnya memutuskan untuk mengubah status menjadi WNI.
Baca juga: Stasiun Klaten, Stasiun Kereta Bersejarah di Jalur Semarang-Vorstenlanden
Hobinya berenang dan bermain basket membuat Eddy masih kuat untuk berjalan di usianya yang sudah senja ini. Ingatan dan pendengarannya masih jelas meski giginya sudah ompong karena faktor usia.
Tapi, sepanjang hidupnya dia hanya pernah dirawat di rumah sakit selama dua kali saat terkena liver dan diabetes.
“Selama hidup saya banyak merasakan bahagia,” kata Eddy menutup perbincangan dengan Kompas.com.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang