Sejarawan dari Universitas Nusantara PGRI (UNP) Kediri, Sigit Widiatmoko mengatakan, makanan olahan dengan penambahan bumbu sudah dikenal oleh peradaban Nusantara sejak lama.
Itu banyak tergambar dari sejumlah peninggalan arkeologis berupa prasasti hingga candi. Seperti pada relief di Candi Borobudur yang menggambarkan makanan dalam tungku.
“Kesimpulannya, makanan yang memadukan sekian banyak bahan dan bumbu tertentu sudah ada sejak zaman munculnya tata kehidupan masyarakat,” ujarnya.
Begitu juga dengan sambal tumpang, yang banyak ditemukan di wilayah Jawa Timur bagian barat dan Jawa Tengah bagian timur, sudah dikenal lama.
Setidaknya, kata dia, jejak sejarahnya bisa ditemukan dalam catatan Serat Chentini tahun 1814 hingga 1823 atau sekitar dua abad lalu. Itu adalah catatan pengembaraan yang menuliskan ragam kehidupan masyarakat Mataraman termasuk makanannya.
Sedangkan secara semiotik, kata Sigit, sambel tumpang merupakan hasil kreasi makanan yang timbul akibat krisis pangan di era kolonial. Era pelarian Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa yang mengarah ke timur.
Tempe yang sudah basi kemudian diolah kembali dengan penambahan rempah yang keberadaannya mudah didapat di sekitar, sehingga menjadi menjadi makanan baru yang layak konsumsi.
“Kalau saya sendiri, sambel tumpang adalah muncul karena krisis pangan pada era kolonial. Makanan kemarin tetap diolah lalu ditambah bumbu tertentu melahirkan makanan baru,” ujarnya.
Dahulu, makanan tersebut merupakan makanan yang kurang populer dan hanya untuk kalangan bawah.
Namun seiring waktu, karena bahannya yang mudah didapat dan citarasanya ternyata banyak yang suka, akhirnya bisa bertahan hingga saat ini.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang