SIDOARJO, KOMPAS.com - Jika berkunjung ke toko oleh-oleh khas Sidoarjo, mungkin Anda pernah melihat ikan bandeng berwarna cokelat keemasan yang digantung di etalase kaca.
Ikan itu adalah bandeng asap, salah satu kulier khas Sidoarjo yang kerap dijadikan oleh-oleh andalan. Bisa bertahan lama meski tanpa dimasukkan ke mesin pendingin, mungkin menjadi salah satu faktor mengapa kuliner ini laris.
Selain itu, -tentu saja, rasanya yang gurih ditambah dengan aroma khasnya membuat bandeng asap Sidoarjo juga dikenal di negara tetangga, seperti Malaysia dan Hongkong.
Bandeng asap memang biasa dijumpai di sejumlah daerah seperti Gresik, Malang, Karanganyar, hingga Semarang. Tapi, komoditas unggulan ini sebenarnya berasal dari perikanan Kabupaten Sidoarjo.
Baca juga: Menikmati Kupang Lontong Cak Kartolo, Kuliner Legendaris Sidoarjo yang Tak Pernah Sepi Pembeli
“Yang bikin bandeng Sidoarjo beda dengan lain adalah nggak bau lumpur. Karena bandeng di sini dibudidaya di tambak air asin,” kata salah satu pengolah Bandeng Asap Sidoarjo, Mahsunah.
Di Kecamatan Sedati, yang menjadi tempat tinggal Mahsunah misalnya. Sebagian warga di sini bekerja sebagai pembudidaya dan pengolahan bandeng asap khas Sidoarjo.
Bandeng di Sidoarjo tidak hanya diolah menjadi bandeng asap. Tetapi juga bandeng presto, bandeng otak-otak, dan bluder bandeng.
Dengan berbagai produk dan olahannya, Kabupaten Sidoarjo menjadikan ikan bandeng sebagai salah satu simbol kemakmuran dan kejayaan daerah.
Untuk menjadi sajian oleh-oleh khas Sidoarjo yang siap dibawa ke kampung halaman, bandeng asap ternyata melalui proses masak yang cukup lama. Pengasapannya saja, membutuhkan waktu sekitar enam jam.
Tidak semua bandeng dapat dipilih untuk dimasak. Untuk menjaga kualitas rasa dan tekstur, hanya ikan bandeng segar yang bisa diolah jadi bandeng asap.
Baca juga: Menguak Rahasia Kuah Pekat Rawon Subedo, Kuliner Khas Surabaya
“Jadi habis dari tambak, itu langsung dimasak. Kalau dibiarkan sehari gitu aja langsung basi dan rasanya nggak enak,” kata Mahsunah.
Ikan bandeng yang sudah dicabut duri dan dibuang isi perutnya kemudian dicuci bersih. Jika sudah, langsung diolah tanpa menunggu pergantian hari agar lebih fresh dan tidak mudah basi.
“Kalau nggak ada jeroan (isi perut) disimpan dulu tidak masalah. Tapi kalau sudah diambil itu sudah nggak segar,” ucap dia.
Setelah itu, bandeng dibumbui terlebih dahulu sebelum masuk ke oven pengasapan. Bumbu yang digunakan sebagai penggungah rasa dan aroma mulai dari bawang putih, kunyit, garam, dan sedikit penyedap.
Usai dimarinasi, bandeng tidak serta merta dimasukkan ke dalam oven pengasap. Bagian perut bandeng yang sudah kosong dan dibelah akan diapit oleh tusuk sate agar mudah diikat dengan tali saat digantung.
Mahsunah, pengolah bandeng asap khas Sidoarjo dari Kecamatan Sedati, Sidoarjo. Untuk mendapatkan tingkat kematangan yang paripurna serta merata, bandeng tidak akan ditaruh di loyang. Melainkan digantung berjejer di dalam oven pengasap.
“Mengasapnya bisa sampai enam jam dan sekali ngasap dalam satu oven bisa 20 ekor bandeng,” ujar perempuan yang berusia 67 tahun tersebut.
Bentuk oven pengasap bandeng terlihat berbeda dari oven pada umumnya. Persegi panjang ukuran 65x50 centimeter dan bagian atasnya seperti piramid terdapat corong menjulang yang setiap menit mengepulkan asap panas saat proses pengasapan.
“Corongnya ini supaya asapnya keluar saat pengasapan,” tutur Mahsunah sambil menunjuk benda persegi panjang itu.
Jika berpikir proses pengasapan ini dilakukan di atas kompor gas yang menyala, maka Anda salah. Seluruh pengolahan bandeng asap dilakukan secara manual dan tradisional.
Baca juga: Jejak Akulturasi Jawa dan Tionghoa dalam Kenyalnya Tahu Takwa Kediri
“Masaknya pakai batok kelapa dan dicampur arang. Karena kan lama (pengasapan),” terang perempuan berkacamata itu.
Alhasil, setiap 30 menit sekali Mahsunah dan suaminya bergantian mengecek kondisi bahan bakar pengasapan jika sewaktu-waktu habis atau mati.
Selang beberapa jam berlalu, bandeng yang sudah berwarna cokelat keemasan mengilap, cenderung gelap dengan tekstur sedikit keras tapi empuk di dalam, maka sudah bisa diangkat.
Memulai usaha sejak 2011 silam, Bandeng Asap khas Sidoarjo yang dijual oleh Mahsunah seharga Rp 45.000 itu tidak hanya dinikmati oleh orang Indonesia saja.
Berkat penjualannya melalui e-commerce, Mahsunah mengaku pernah mengirim produknya sampai ke Negeri Jiran.
“Supaya awet tahan lama, bandengnya divakum lalu dimasukkan ke kardus. Jadi, kalau pun ngirim jauh-jauh aman,” tutur perempuan asli Sidoarjo tersebut.
Baca juga: Menyantap Sebungkus Nasi Jinggo Bali, Murah dan Pas di Perut
Penjualan dengan sistem online membuatnya lebih mudah dan lebih dikenal oleh banyak orang. Bahkan, saat pandemi Covid-19 usahanya lebih hidup karena lebih laris.
“Sebelum Covid-19 itu kita kirim ke resto. Terus jadi banyak yang tutup. Tapi, rezeki sudah diatur masing-masing, malah ramai di online karena mungkin banyak yang nggak keluar rumah,” jelasnya.
Untuk membuat usahanya lebih variatif, Mahsunah juga menjual bandeng presto dan otak-otak sebagai pilihan produk lainnya.
Dalam satu bulan, di kondisi saat ini dia bisa mengantongi omzet hingga Rp 6 juta. “Supaya kuliner khas Sidoarjo ini tetap legendaris, harus benar-benar menjaga kualitas dari pemilihan ikan sampai pengolahan,” kata dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang