Permasalahan mereka tak berhenti di sana, F, adik bungsunya kecelakaan hingga kakinya harus diamputasi.
"Rasanya semakin hancur," kata D.
Hal senada juga diungkapkan F yanga mengaku hanya lulus SMP. Saat mengalami kecelakaan, F yang lulusan SMP sedang bekerja menjadi sopir bangunan.
"Saya sempat terpuruk, Mbak MR kondisinya seperti itu. Sementara saya kecelakaan dan enggak bisa ngapa-ngapain juga," kata F kepada Kompas.com.
Baca juga: Terapi Rohani untuk Penderita Demensia Alzheimer ala Griya Lansia Malang
F mengaku kakinya diamputasi hampir 10 tahun lalu dan kejadian tersebut membuat dia mengurung diri selama bertahun-tahun karena kehilangan kepercayaan diri.
"Saya enggak tau harus melakukan apa. Sementara kondisi Mbak MR seperti itu. Ya saya banyak di rumah bantu bapak," kata F.
Baca juga: Kasus Alzheimer Nyaris Tak Terlacak
Namun, perjuangan mereka tak berhenti di sana. Dibantu D yang ada luar negeri, MR dibawa sang ayah ke psikiater. Saat itulah diketahui bahwa MR didiagnosa schizophrenia, unspecified (f20.9)
Sementara F, lebih banyak mengurus rumah.
"Mbak MR sangat dekat dengan bapak. Awalnya dibawa ke Puskesmas Licin tapi tak lebih dari seminggu. Mbak MR minta pulang dan akhirnya melakukan perawatan jalan," lanjut D dan diaminkan F.
Puskesmas Licin yang berada di bawah kaki Gunung Ijen, memiliki fasilitas penanganan perawatan jiwa dan rehabilitasi penyalahgunaan narkotika.
"Saya masih ingat, Mbak MR senang sekali berangkat ke Licin karena sekalian jalan-jalan sama bapak. Sudah pakaian rapi seperti kita dan lebih tenang," kata D.
Hingga akhirnya, MR melakukan perawatan jalan di rumah sakit yang letaknya tak jauh dari rumah. Secara rutin, MR datang untuk konsultasi dan minum obat.
"Alhamdulilah sekarang dia bisa ke rumah sakit sendiri tanpa diantar. Sudah bisa menggunakan ponsel walau masih voicenote atau telepon dan video call. Juga sudah punya Instagram tapi ya cuma buat lihat-lihat saja," kata D.
Sejak 3 tahun terakhir, D memilih pulang ke Banyuwangi dan bersama kedua adiknya mulai membuka bisnis sendiri membuat kerupuk cumi.
Di bisnis tersebut, MR dan F juga terlibat dan mengambil peran penting di bisnis tersebut.
"Khusus untuk Mbak MR, jadwal dia harus teratur. Contoh pagi bersih-bersih, terus lanjut pekerjaan A lalu B. Enggak bisa disuruh di luar kebiasaan, apalagi dengan nada yang enggak enak. Nanti dia enggak nyaman. Setelah maqrib, selesai dan Mbak MR harus beristirahat," katanya.
Menurut D, banyak perubahan baik yang terjadi kepada MR. Salah satunya adalah MR rutin minum obat tanpa harus diawasi lagi, karena sebelumnya banyak obat yang dibuang oleh MR.
Selain itu, MR juga lebih percaya diri dan berani berkumpul di ruang publik seperti pengajian atau menjaga pameran untuk produk mereka.
"Dulu saya sedih pas Mbak MR tiba-tiba diam saat ada orang yang bilang dia ODGJ. Saya tanya kenapa dia. Jawabannya 'enggak apa-apa'. Padahal saya tahu dia menangis," kata D.
"Akhirnya sejak saat itu saya bilang ke orang-orang terdekat jangan pernah menggunakan kata ODJG atau gila di depan Mbak MR. Alhamdulih Mbak MR diterima sama semuanya, termasuk keluarga lain dan tetangga," kata D.
D mengaku selama ini dia tak pernah tahu dengan penyakit alzheimer. Namun ia mengetahui penyakit alzheimer setelah merawat sang kakak dan D mengaku keluarga memiliki peran penting untuk proses penyembuhan.
"Saya enggak tahu apa bisa sembuh atau tidak. Tapi selama saya mampu, saya akan memberikan yang terbaik untuk Mbak MR dan adik saya F. Saya yakin dukungan keluarga yang membuat Mbak MR jadi lebih baik sekarang dan juga rutin melakukan pengobatan," kata dia.
"Mungkin saya terlambat membawa Mbak MR untuk diperiksakan, tapi ya alasannya karena biaya dan tidak tahu. Tapi lebih baik dari pada tidak sama sekali," tambah dia.