Hari itu, MR dan keluarganya sedang mempersiapkan selamatan 40 hari meninggalnya sang ayah di rumahnya yang berada di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, pada Jumat (13/9/2024).
Sejak 7 tahun terakhir, MR didiagnosa schizophrenia, unspecified (f20.9). Namun dengan dukungan keluarganya, MR kini bisa beraktivitas bahkan bekerja bersama dengan orang-orang sekitarnya. Ia pun bekerja dengan sang adik yang membuka usaha UMKM makanan.
D (42), adik kandung MR bercerita kisah kakak perempuannya berawal sejak 20 tahun lalu. Setelah lulus SMP, kakaknya memilih bekerja di Bali dan melanjutkan sekolah.
Hal itu terpaksa dilakukan karena mereka berasal dari keluarga yang tak mampu.
"Almarhum ayah saya kusir delman, kami tiga bersaudara harus bisa menerima kondisi keluarga. Hingga akhirnya Mbak MR sebagai anak pertama memilih bekerja di Bali untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan juga kami adik-adiknya," kata D saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Jumat (13/9/2024).
D tak tahu penyebabnya, tiba-tiba sang kakak berubah pendiam dan emosinya tak terkontrol. Ia menduga, kakaknya mendapat masalah saat bekerja di Bali.
"Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan kakak saya saat itu. Tapi kehidupan kami berubah. Apa yang kami punya dijual untuk pengobatan Mbak MR," kata dia.
Kala itu, ibu mereka sudah meninggal dunia. Menurut D, kondisi kakaknya sangat menyedihkan karena kerap melukai diri sendiri, mencabut rambutnya hingga habis dan kerap melempar barang.
Tak hanya itu, sang kakak juga pernah hilang dan meninggalkan rumah selama tujuh hari hingga akhirnya ditemukan di wilayah yang cukup jauh dari rumah.
"Kami tidak tahu penyebabnya apa. Seperti Mbak, saya dan adik bungsu juga lulus SMP. Mbak MR diobatkan ke mana saja sama bapak. Semua yang dipunya dijual untuk biaya. Bahkan pengoabatan spiritual pun kami lakukan, " kata dia.
Hingga akhirnya D pun memilih untuk bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Singpuara. Sementara MR tinggal di Banyuwangi bersama sang ayah dan adik bungsunya, F yang kala itu masih berusia di bawa umur.
"Ke Singapura untuk memperbaiki hidup keluarga," kata dia.
Walau di Singapura, D tak melepaskan perhatiannya kepada sang kakak. Sebagian penghasilannya pun dikirim ke Indonesia untuk pengobatan sang kakak.
"Saya mau Mbak MR sembuh," kata D.
"Rasanya semakin hancur," kata D.
Hal senada juga diungkapkan F yanga mengaku hanya lulus SMP. Saat mengalami kecelakaan, F yang lulusan SMP sedang bekerja menjadi sopir bangunan.
"Saya sempat terpuruk, Mbak MR kondisinya seperti itu. Sementara saya kecelakaan dan enggak bisa ngapa-ngapain juga," kata F kepada Kompas.com.
F mengaku kakinya diamputasi hampir 10 tahun lalu dan kejadian tersebut membuat dia mengurung diri selama bertahun-tahun karena kehilangan kepercayaan diri.
"Saya enggak tau harus melakukan apa. Sementara kondisi Mbak MR seperti itu. Ya saya banyak di rumah bantu bapak," kata F.
Namun, perjuangan mereka tak berhenti di sana. Dibantu D yang ada luar negeri, MR dibawa sang ayah ke psikiater. Saat itulah diketahui bahwa MR didiagnosa schizophrenia, unspecified (f20.9)
Sementara F, lebih banyak mengurus rumah.
"Mbak MR sangat dekat dengan bapak. Awalnya dibawa ke Puskesmas Licin tapi tak lebih dari seminggu. Mbak MR minta pulang dan akhirnya melakukan perawatan jalan," lanjut D dan diaminkan F.
Puskesmas Licin yang berada di bawah kaki Gunung Ijen, memiliki fasilitas penanganan perawatan jiwa dan rehabilitasi penyalahgunaan narkotika.
"Saya masih ingat, Mbak MR senang sekali berangkat ke Licin karena sekalian jalan-jalan sama bapak. Sudah pakaian rapi seperti kita dan lebih tenang," kata D.
Hingga akhirnya, MR melakukan perawatan jalan di rumah sakit yang letaknya tak jauh dari rumah. Secara rutin, MR datang untuk konsultasi dan minum obat.
"Alhamdulilah sekarang dia bisa ke rumah sakit sendiri tanpa diantar. Sudah bisa menggunakan ponsel walau masih voicenote atau telepon dan video call. Juga sudah punya Instagram tapi ya cuma buat lihat-lihat saja," kata D.
Sejak 3 tahun terakhir, D memilih pulang ke Banyuwangi dan bersama kedua adiknya mulai membuka bisnis sendiri membuat kerupuk cumi.
Di bisnis tersebut, MR dan F juga terlibat dan mengambil peran penting di bisnis tersebut.
"Khusus untuk Mbak MR, jadwal dia harus teratur. Contoh pagi bersih-bersih, terus lanjut pekerjaan A lalu B. Enggak bisa disuruh di luar kebiasaan, apalagi dengan nada yang enggak enak. Nanti dia enggak nyaman. Setelah maqrib, selesai dan Mbak MR harus beristirahat," katanya.
Menurut D, banyak perubahan baik yang terjadi kepada MR. Salah satunya adalah MR rutin minum obat tanpa harus diawasi lagi, karena sebelumnya banyak obat yang dibuang oleh MR.
Selain itu, MR juga lebih percaya diri dan berani berkumpul di ruang publik seperti pengajian atau menjaga pameran untuk produk mereka.
"Dulu saya sedih pas Mbak MR tiba-tiba diam saat ada orang yang bilang dia ODGJ. Saya tanya kenapa dia. Jawabannya 'enggak apa-apa'. Padahal saya tahu dia menangis," kata D.
"Akhirnya sejak saat itu saya bilang ke orang-orang terdekat jangan pernah menggunakan kata ODJG atau gila di depan Mbak MR. Alhamdulih Mbak MR diterima sama semuanya, termasuk keluarga lain dan tetangga," kata D.
D mengaku selama ini dia tak pernah tahu dengan penyakit alzheimer. Namun ia mengetahui penyakit alzheimer setelah merawat sang kakak dan D mengaku keluarga memiliki peran penting untuk proses penyembuhan.
"Saya enggak tahu apa bisa sembuh atau tidak. Tapi selama saya mampu, saya akan memberikan yang terbaik untuk Mbak MR dan adik saya F. Saya yakin dukungan keluarga yang membuat Mbak MR jadi lebih baik sekarang dan juga rutin melakukan pengobatan," kata dia.
"Mungkin saya terlambat membawa Mbak MR untuk diperiksakan, tapi ya alasannya karena biaya dan tidak tahu. Tapi lebih baik dari pada tidak sama sekali," tambah dia.
"Tapi alhamdulilah Mbak MR ekpresi sedihnya ya wajar seperti kita. Awalnya khawatir karena bapak dan Mbak MR sangat dekat," tambah F.
F dan D pun berpesan jika ada keluarga yang berperilaku berbeda hingga menyakiti diri sendiri atau orang lain, sebaiknya segera diperiksakan ke dokter agar segera ditangani.
"Sampai saat ini saya juga gunakanan BPJS untuk perawatan jalan termasuk obat-obatan untuk Mbak MR," tutup D.
Saat ditanya terpisah, MR mengaku dirinya saat ini merasa lebih baik karena bisa bekerja di tempat adiknya serta beraktivitas bersama orang lain.
"Saya sayang sama adik-adik saya," kata perempuan kelahiran 29 Desember 1980 itu.
Sore itu, dengan cekatan, MR menyiapkan makan siang untuk keluarga dan tamu yang berdatangan di rumah. Dengan ramah, ia kemudian mempersilahkan tamu untuk menikmati hidangan lodeh yang sudah ia siapkan.
"Semoga saya bisa terus bersama Mbak MR dan adik saya," kata D dengan tersenyum dan diamini oleh F.
https://surabaya.kompas.com/read/2024/09/18/173024478/kisah-perempuan-dengan-skizofrenia-di-banyuwangi-berdaya-dengan-dukungan