Pada tahun 1974 usai lulus ASKI dia mendapat penugasan dari Dinas Kebudayaan Ngawi belajar ke Padepokan Bagong Kussudiardjo di Yogyakarta.
Di sana dia mengaku mempelajari semua bentuk kesenian dari tari, ketoprak, wayang orang, melukis, membatik, semua kesenian dia pelajari selama satu tahun lebih.
“Tugas belajarnya sebetulnya 6 bulan, tapi saya diminta untuk ngajar tari klasik di padepokan pak Bagong hingga saya mendapat tugas belajar satu tahun lebih,” ucapnya.
Di Padepokan Bagong Kussudiardjo, Sri Widajati tidak hanya belajar kesenian. Ia juga didapuk sebagai pengajar tari klasik.
Karena piawai menari jawa klasik, Sri Widajati bahkan sering diajak keliling negara Jepang, Swiss dan China sebagai duta budaya Indonesia.
Meski piawai menari jawa klasik, namun Pak Bagong memiliki perhatian khusus terhadap bakat dalang Sri Widajanti, karena jarang sekali seorang perempuan memiliki ketrampilan mendalang.
Baca juga: Galang Donasi Korban Erupsi Semeru, Pekerja Seni Kecam Syuting Sinetron di Lokasi Pengungsian
“Kalau di tempat Pak Bagong saya dipanggil bu dalang. Saya sering disuruh suluk (vocal khas di pewayangan untuk menggambarkan suasana tertentu),” katanya.
Suatu hari Bagong Kussudiardjo membuat sayembara bagi siapa saja yang bisa memainkan gendang miliknya, maka dia berhak membawa pulang kendang kesayangannya.
Meski menganggap dirinya tidak piawai main gendang, namun Bagong justru menganggap permainan gendang Sri Widajanti yang terbaik.
”Saya dianggap paling pandai main gendang meski saya merasa biasa saja. Saya yang disuruh bawa pulang gendangnya. Sampai sekarang gendang itu masih dipakai anak-anak untuk latihan ketoprak. Ini gendang kenangan dari Pak Bagong,” ucapnya.
Kepiawaiannya memainkan gendang, menurut Sri Widajati, sangat berguna untuk menentukan ketukan langkah tari yang dia ciptakan.
Sejumlah pemain gendang bahkan ada yang kesulitan mengiringi tarian yang dia ciptakan.
“Terpaksa saya sendiri yang ngendang kalau pemain gendang kesulitan. Dasar saya penari jadi tahu ketukan gendangnya harus seperti apa karena kebanyakan pemain gendang tidak memiliki pengetahuan gerak tari,” urainya.
Pada tahun 1981, Sri Widajati berhasil menciptakan tari orek orek yang akhirnya menjadi tarian khas Kbaupaten Ngawi.
Tari orek orek bahkan menjadi identitas Kabupaten Ngawi dengan sebutan Ngawi kota orek orek.
Tarian tersebut fenomenal pada tahun 1980-an. Bahkan pemerintah Kabupaten Ngawi mencatatkan tari orek orek di Rekor MURI karena dibawakan 15.316 pelajar dan mahasiswa serta warga Ngawi pada tahun 2014 dalam rangka memperingati HUT ke-69 Ngawi.
Namun, belum ada apresiasi yang diberikan kepada Sri Widajati oleh pemerintah daerah setempat.
Piagam dari MURI yang tersimpan di rumahnya pun merupakan piagam fotokopi.
“Kalau apresiasi tidak ada, saya sebagai PNS di Dinas Kebudayaan semua yang saya lakukan itu bagian dari kerja sebagai PNS. Piagam MURI ini hanya fotokopi, karena kalau mau yang asli harus bayar katanya,” ujarnya.
Apresiasi terhadap tari orek orek setelah tercatat rekor MURI justru datang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menggelar ulang tahun yang ke 66 tahun.
Dia sendiri awalnya tidak tahu jika ada undangan dari Presiden SBY pada 2014 untuk tampil di TMII dalam rangka ulang tahun presiden karena undangan tersebut awalnya ditujukan kepada pemerintah daerah.
Baca juga: Kisah Penjaga Seni Tari Topeng Kaliwungu Lumajang, Minim Kesempatan Tampil
Karena sibuk mempersiapkan kegiatan ulang tahun ke-69 Ngawi, pemerintah daerah akhirnya menolak permintaan undangan tersebut.