KOMPAS.com – Sri Widajati, warga Jl Ayani, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, terlihat masih gemulai membawakan tari orek orek karyanya yang sempat menjadi identitas Kabupaten Ngawi.
Pada awalnya menari bukan kesenangan wanita 72 tahun itu. Ia sebenarnya lebih menyukai pagelaran wayang kulit.
Sejak sekolah rakyat (SR) di Kecamatan Kwadungan, di mana bapaknya menjadi camat, dia mengaku sudah memahami cerita pewayangan karena sering diajak menonton pagelaran wayang oleh orang tuanya.
“Kalau nari itu karena diajari oleh guru SR, jadi setiap ada kegiatan saya disuruh nari, akhirnya kegiatan menari itu tidak lepas dari saya meskipun saya sebenarnya menyukai wayang kulit."
"Saya dulu suka menonton pagelaran wayang, terus menghafal cerita dan belajar mendalang meski saya perempuan,” ujarnya ditemui di rumahnya, Sabtu (22/6/2024).
Baca juga: Tari Orek-orek Ngawi, Seni Perjuangan Pekerja Rodi yang Terancam Punah
Raca cintanya terhadap wayang kulit membuat ia melanjutkan sekolah tentang seni tersebut.
Setelah lulus SMP di Ngawi, Sri Widajati melanjutkan sekolah ke Konservatori di Surakarta pada tahun 1868.
Jurusan yang diambil pada awalanya adalah pedalangan karena cita-citanya adalah menjadi dalang. Namun oleh orang tuanya dia diminta memilih jurusan tari.
“Dulu bapak yang protes, bilangnya wedok kok ndalang. Padahal nilai tertinggi saya di sekolah ya soal pedalangan. Tapi karena nurut orang tua saya akhirnya milih jurusan tari klasik,” ucapnya.
Meski mengambil jurusan tari tetapi dunia pedalangan tidak pernah ditinggalkan Sri Widajati.
Dibantu gurunya di sekolah Konservatori Surakarta, dia masih bisa belajar pedalangan melalui kursus di Mangkunegaran.
“Yang bantu guru saya namanya Pak Bantar. Jadi saya tetap ngambil jurusan tari klasik di sekoah tapi saya juga belajar pedalangan melalui kursus di Mangkunegaran karena gurunya yang ngajar di Mangkunegaran ya Pak Bantar,” kenangnya sambal tertawa.
Sri Widajati lulus menjadi dalang perempuan dari kursus mendalang di Mangkunegaran setelah menjalani pendidikan selama 1 tahun di samping belajar di konservatori.
Sejak saat itu, namanya lebih terkenal sebagai dalang perempuan dibandingkan sebagai siswa sekola penari.
“Setahun setelah lulus kursus dalang saya sering disuruh tampil ndalang. Pertama kali ndalang di TV itu di TVRI Yogyakarta, tivinya masih hitam putih."
Baca juga: Pekerja Seni di Ngawi Unjuk Rasa di Depan PN, Tuntut Keadilan Kasus Pengeroyokan MC
"Hari Kartini saya juga ndalang di TVRI Surabaya, semua penabuh gamelan juga perempuan,” imbuhnya.
Selain sering tampil di TVRI, Sri Widajanti juga sering tampil pentas dalang wayang kulit pada hari ulang tahun Kabupaten Ngawi.
Sri Widajanti yang sampai saat ini masih menjadi anggota Persaudaraan Masyarakat Budaya Nasional Indonesia (Permadani), mengaku terakhir kali mendalang pada tahun 1996 di Kecamatan Kedunggalar.
“Waktu itu ulang tahun ke-3 Permadani saya tampil bersama dua dalang lainya. Saya ndalang di sesi pertama, sesi kedua digantikan Pak Soleman dan sesi ketiga yang tampil Pak Suraji dari Kecamatan Paron. Itu terakhir kali saya mendalang,” katanya.
Sri Widajati memperlihatkan foto kopi piagam muri dari rekor 15.316 penari di Ngawi membawakan tari orek orek ciptannya pada tahun 2014 lalu dalam rangka memperingati HUT ke-69 Ngawi. Sayangnya di HUT Kabupaten Ngawi ke 666 tahun ini tari orek orek tak masuk dalam kegiatan.Setelah lulus dari sekolah Konservatori Surakarta, Sri Widajanti meneruskan kuliah ke di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta pada tahun 1971.
Saat kuliah di ASKI hingga lulus, dia diangkat sebagai staff Dinas Kebudayaan Kabupaten Ngawi.
Pada tahun 1974 usai lulus ASKI dia mendapat penugasan dari Dinas Kebudayaan Ngawi belajar ke Padepokan Bagong Kussudiardjo di Yogyakarta.
Di sana dia mengaku mempelajari semua bentuk kesenian dari tari, ketoprak, wayang orang, melukis, membatik, semua kesenian dia pelajari selama satu tahun lebih.
“Tugas belajarnya sebetulnya 6 bulan, tapi saya diminta untuk ngajar tari klasik di padepokan pak Bagong hingga saya mendapat tugas belajar satu tahun lebih,” ucapnya.
Di Padepokan Bagong Kussudiardjo, Sri Widajati tidak hanya belajar kesenian. Ia juga didapuk sebagai pengajar tari klasik.
Karena piawai menari jawa klasik, Sri Widajati bahkan sering diajak keliling negara Jepang, Swiss dan China sebagai duta budaya Indonesia.
Meski piawai menari jawa klasik, namun Pak Bagong memiliki perhatian khusus terhadap bakat dalang Sri Widajanti, karena jarang sekali seorang perempuan memiliki ketrampilan mendalang.
Baca juga: Galang Donasi Korban Erupsi Semeru, Pekerja Seni Kecam Syuting Sinetron di Lokasi Pengungsian
“Kalau di tempat Pak Bagong saya dipanggil bu dalang. Saya sering disuruh suluk (vocal khas di pewayangan untuk menggambarkan suasana tertentu),” katanya.
Suatu hari Bagong Kussudiardjo membuat sayembara bagi siapa saja yang bisa memainkan gendang miliknya, maka dia berhak membawa pulang kendang kesayangannya.
Meski menganggap dirinya tidak piawai main gendang, namun Bagong justru menganggap permainan gendang Sri Widajanti yang terbaik.
”Saya dianggap paling pandai main gendang meski saya merasa biasa saja. Saya yang disuruh bawa pulang gendangnya. Sampai sekarang gendang itu masih dipakai anak-anak untuk latihan ketoprak. Ini gendang kenangan dari Pak Bagong,” ucapnya.
Kepiawaiannya memainkan gendang, menurut Sri Widajati, sangat berguna untuk menentukan ketukan langkah tari yang dia ciptakan.
Sejumlah pemain gendang bahkan ada yang kesulitan mengiringi tarian yang dia ciptakan.
“Terpaksa saya sendiri yang ngendang kalau pemain gendang kesulitan. Dasar saya penari jadi tahu ketukan gendangnya harus seperti apa karena kebanyakan pemain gendang tidak memiliki pengetahuan gerak tari,” urainya.
Pada tahun 1981, Sri Widajati berhasil menciptakan tari orek orek yang akhirnya menjadi tarian khas Kbaupaten Ngawi.
Tari orek orek bahkan menjadi identitas Kabupaten Ngawi dengan sebutan Ngawi kota orek orek.
Tarian tersebut fenomenal pada tahun 1980-an. Bahkan pemerintah Kabupaten Ngawi mencatatkan tari orek orek di Rekor MURI karena dibawakan 15.316 pelajar dan mahasiswa serta warga Ngawi pada tahun 2014 dalam rangka memperingati HUT ke-69 Ngawi.
Namun, belum ada apresiasi yang diberikan kepada Sri Widajati oleh pemerintah daerah setempat.
Piagam dari MURI yang tersimpan di rumahnya pun merupakan piagam fotokopi.
“Kalau apresiasi tidak ada, saya sebagai PNS di Dinas Kebudayaan semua yang saya lakukan itu bagian dari kerja sebagai PNS. Piagam MURI ini hanya fotokopi, karena kalau mau yang asli harus bayar katanya,” ujarnya.
Apresiasi terhadap tari orek orek setelah tercatat rekor MURI justru datang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menggelar ulang tahun yang ke 66 tahun.
Dia sendiri awalnya tidak tahu jika ada undangan dari Presiden SBY pada 2014 untuk tampil di TMII dalam rangka ulang tahun presiden karena undangan tersebut awalnya ditujukan kepada pemerintah daerah.
Baca juga: Kisah Penjaga Seni Tari Topeng Kaliwungu Lumajang, Minim Kesempatan Tampil
Karena sibuk mempersiapkan kegiatan ulang tahun ke-69 Ngawi, pemerintah daerah akhirnya menolak permintaan undangan tersebut.
Pada saat itu salah satu asisten Presiden SBY menghubungi dirinya langsung untuk tampil di TMII membawakan tari orek orek 2 hari sebelum acara.
Meski sempat kaget karena diberitahu mendadak, Si Widajati menyanggupi tampil.
“Kebetulan asistennya itu punya saudara yang anaknya anggota sanggar saya. Waktunya ya mepet untuk mengumpulkan para penari, tapi akhirnya tetap berangkat."
"Satu bus itu besoknya sudah parkir di depan rumah. Saya berangkat bersama 46 penari dan pemain gamelan,” kenangnya.
Penampilan tari orek orek di TMII bahkan mendapat apresiasai dari Pak SBY karena pada saat itu Sri Widajati memainkan gendang untuk mengiringi anak asuhnya tampil.
Saat itu tidak ada pemain gendang yang bisa mengiringi gerakan tari orek orek, terpaksa Sri Widajanti sendiri yang memainkan gendang.
“Pak SBY sempat tanya, perempuan kok bisa ngendang,” kenang Sri Widajati sambil tersenyum.
Perjuangan Sri Widajati melestarikan tarian Jawa klasik juga mendapat apresiasi dari Gubernur Khofifah Indar Parawansa. Ia menerima anugerah sebagai kreator bidang seni tari pada tahun 2022.
Uang dari apresiasi yang diberikan Ibu Khofifah dibelikan sejumlah peralatan gamelan yang saat ini dipinjamkan untuk digunakan salah satu sekolah dasar di Ngawi untuk latihan ketoprak.
Baca juga: Pengaruh Islam dalam Bidang Seni Tari dan Musik
Nama Sri Widajati saat ini juga tengah diusulkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur untuk mendapatkan nomine sebagai maestro seni dan budaya bersama sejumlah seniman dari Banyuwangi mewakili karawitan, Kabupaten Tulungagung mewakili seni ketoprak, Kabupaten Bangkalan mewakili dalang dan Deni Cak Nan selaku penggiat seni campursari.
“Ini masih proses, baru beberapa minggu lalu dikasih tahu. Untuk nominasi sebagai maestro seni dan budaya,” katanya.
Dari puluhan tari yang berhasil diciptakan, Sri Widajati mengaku baru mengantongi sekitar 15 hak cipta tari kreasinya.
Sementra puluhan tari ciptaannya saat ini belum diusulkan terkait hak cipta. Padahal sejumlah tari yang diciptakan telah menjuarai sejumlah event lomba tari.
“Sejarah itu saya bikin tari, seperti sejarah Benteng Pendem itu ada tarinya, namanya Sang Senopati."
"Kemarin kami bawakan di Bali. Ada juga tari Ngawi Ramah, itu yang mendapat penghargaan dari Bu Khofifah saat kami tampilkan di kantor gubernuran, uangnya saya belikan gong saya pinjamkan kepada yang mau tampil,” ucapnya.
Meski tahun ini Pemerintah Kabupaten Ngawi tengah mempersiapkan HUT ke-666 , namun sayangnya tari orek orek tak masuk dalam list untuk ditampilkan.
Sri Widajati mengaku sedih tari yang pernah menjadi ikon Kabupaten Ngawi dengan Ngawi kota orek orek tersebut tak mendapat tempat dalam acara peringatan hari ulang tahun Ngawi.
Baca juga: Gejog Lesung, Kesenian Tradisional yang Jadi Ekspresi Kebahagiaan Masyarakat Agraris
“Harapan saya tari orek orek dikembangkan terus agar kesenian orek orek ini tidak punah. Sekarang banyak generasi muda yang sudah tidak tahu apa itu orek orek,” ujarnya.
Pada usianya yang senja, Sri widajati masih terus mengajarkan sejumlah tari kepada generasi muda Kabupaten Ngawi agar mereka tak melupakan perjalanan sejarah Ngawi melalui tari.
Setiap hari Minggu di pendopo Kabupaten Ngawi melalui Sanggar Sri Budaya, Sri Widajati turun tangan melatih menari puluhan generasi milenial Ngawi.
“Hidup-mati saya untuk menari. Saya dapat apa apa juga dari nari. Sampai kapan pun saya akan mengabdikan hidup untuk mengajarkan menari,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang