Belanda berupaya merendam perlawanan rakyat Blitar dengan mengeluarkan Staatsblad van Nederlandche Indie nomor 150 tanggal 1 April 1906.
Isinya adalah menetapkan pembentukan Gemeente Blitar. Istilah Gemeente adalah istilah bahasa Belanda yang merujuk pada pembagian wilayah administrasi, yang dapat diterjemahkan sebagai kotamadya.
Tanggal penetapan Gemeente Blitar sekaligus dikukuhkan sebagai hari lahir Kota Blitar, yaitu tanggal 1 April 1906.
Pada 1942, Jepang berhasil menduduki Kota Blitar dan mengganti istilah Gemeente Blitar menjadi Blitar Shi yang diperkuat dengan hukum yang bernama Osamu Seerai.
Pada masa kedudukan Jepang, rakyat Blitar belum berhenti melakukan pemberontakan.
Bukti paling kuat adalah pemberontakan PETA yang dipimpin oleh Sudancho Supriyadi.
Pergolakan PETA yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945 merupakan pembrontakan paling dasyat atas kedudukan Jepang di Indonesia.
Pembrontakan tersebut sebagai bentuk empati tentara PETA atas kesengsaraan rakyat Indonesia akibat penjajahan Jepang.
Dalam otobiografi Bung Karno yang ditulis Cindy Adams, konon Suprijadi pada tanggal 14 Februari 1945 juga sempat berdiskusi dengan Soekarno mengenai rencana pembrontakannya.
Saat itu, Soekarno tengah berkunjung di Ndalem Gebang. Namun Soekarno tidak memberikan dukungan nyata.
Soekarno beranggapan lebih penting untuk mempertahankan pasukan PETA sebagai bagian untuk memperebutkan kemerdekaan.
Di luar pemberontakan tersebut, Partohardjono, salah seorang anggota pasukan Supriyadi mengibarkan bendera Merah Putih di tiang bendera di seberang asrama PETA.
Saat ini tiang bendera tersebut berada dalam kompleks TMP Raden Widjaya atau Monumen Potlot.
Pemberontakan PETA yang berlangsung beberapa jam dipandang kurang efektif, meskipun seluruh anggota pasukan PETA yang memberontak ditangkap kecuali Supriyadi.
Namun pembrontakan tersebut berhasil membuka mata dunia dan menjadi catatan dalam sejarah perjuangan bangsa.