Untuk memenuhi kebutuhan makan selama perjalanan pulang ke Ngawi, para pekerja rodi dari Ngawi akhirnya memilih ngamen kesenian Orek-orek di setiap desa yang mereka singgahi.
“Mereka memanfaatkan peralatan gamelan seadanya dan juga peralatan yang mereka punya untuk ngamen selama perjalanan menuju Ngawi. Sejak saat itu masyarakat mengenal kesenian Orek-orek itu sebagai kesenian ngamen keliling. Waktu kecil saya suka nonton, ngikutin Orek-orek ngamen sampai desa tetangga,” kenang Sri Widajati
Sri Widajati mengaku lebih menyukai kesenian wayang kulit daripada menari. Dunia tari awalnya dikenalkan oleh guru sekolah SR atau sekolah rakyat pada saat menjadi siswa di Desa Kwadungan tahun 1962.
Baca juga: Peringati HUT Ke-267, Pura Mangkunegaran Solo Tampilkan Tarian Era Pangeran Sambernyawa
Setiap acara perpisahan, Sri Widajati kecil pasti disuruh menghibur tamu undangan.
“Dari kecil saya suka wayang kulit dan awalnya saya tidak bisa nari. Saya kemudian diajari nari oleh guru SR Kwadungan dan setiap tahun disuruh menari di acara perpisahan sekolahan,” terangnya.
Setelah lulus SMP, Sri Widajati meneruskan sekolah di Konservatori di Surakarta hingga tahun 1971 karena ketertarikannya kepada dunia dalang. Pada tahun 1975 dia melanjutkan sekolah di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, saat ini namanya Institut Seni Indonesia (ISI).
Pada tahun pertama sebagai mahasiswi Aski, Sri Widajati diangkat menjadi staf di Dinas Kebudayaan Ngawi. Setelah lulus dari ASKI dia menekuni menjadi ASN di Dinas Kebudayaan Kabupaten Ngawi hingga tahun 1974 di mana di tahun tersebut dia mendapat tugas belajar seni ke Padepokan Bagong Kussudiardjo Yogyakarta.
Di sana dia mengaku mempelajari semua bentuk kesenian tari, ketoprak, wayang orang, melukis dan membatik. Semua kesenian dia pelajari hingga satu tahun lebih.
"Di sana saya dapat kendangnya Pak Bagong karena dia bertaruh kalau saya bisa ngendang akan diberi kendangnya. Dan, kebetulan saya bisa ngendang, sampai sekarang kendang kenangan dari beliau masih saya simpan,” katanya.
Pada tahun 1979, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyelenggarakan lomba tarian khas daerah. Sri Widajati melihat kesenian Orek-orek mulai ditinggalkan masyarakat.
“Akhirnya kita meminta izin untuk mengambil nama Orek-orek sebagai tarian yang akan dilombakan di Jawa Timur. Pada saat itu Surabaya mengajukan tari Remo, Ponorogo reyog. Karena Orek-orek di Ngawi mulai punah saya mengambil nama Orek-orek sebagai tari dengan tujuan melestarikan Orek-orek karena gamelan yang mengiringi ya kesenian Orek-orek,” kenangnya.
Selain menciptakan gerak tari, untuk mengiringi gerakan tarian tersebut, Sri Widajanti menggandeng Suripto menggubah syair Orek-orek yang berisi tentang sindiran kepada orang Belanda menjadi syair tentang pergaulan remaja yang sedang bekerja dengan semangat.
Sementara gerak tarinya diambil dari kegiatan para pekerja rodi yang bekerja menyelesaikan pembangunan jembatan di Kali Tuntang.
“Penggambarannya tari pergaulan di mana remaja putri dan putra ini orang yang sedang giat bekerja. Gerakan bekerjanya kita ambil dari cerita pekerja rodi, kemudian ada syair di lagu itu dengan selingan kata jes jes, itu artinya mereka lagi minum. Setelah giat bekerja mereka ingin bersenang-senang karena pekerjaan membangun jembatan selesai,” urainya.
Upayanya mengangkat kesenian Orek-orek melalui tarian berhasil membawa tari tersebut menjadi tarian khas Kabupaten Ngawi dan masuk 10 besar di kegiatan lomba tari di Provinsi Jawa Timur. Pada saat itu, Orek-orek menjadi identitas Kabupaten Ngawi seperti halnya reyog identitas Kabupaten Ponorogo.