Gendang hadiah dari Bagung Kussudiardjo, seniman dari Yogyakarta tersebut melantunkan lagon Orek-orek khas Ngawi. Tembang yang dilantunkan diikuti dengan tepukan gendang yang berirama riang.
"Rek orek montore mabur, montor mabur gede rodane. Ono peyek diremet remet, ojo ngenyek banget banget,” Sri menembangkan syair orek-orek yang penuh sindiran tersebut di rumahnya Desa Beran, Senin (10/6/2024).
Hiburan pekerja rodi
Kesenian Orek-orek, menurut Sri Widajati, sudah ada sejak tahun 1940-an pada saat pendudukan Belanda di Indonesia. Pada saat itu kesenian Orek-orek yang merupakan syair lagon untuk menghibur para pekerja rodi yang membangun jembatan kali Tuntang Semarang. Lagu itu dinyanyikan saat para pekerja istirahat usai bekerja.
Selain cerita perjuanga nenek moyang menghadapi penjajah, lagon Orek-orek juga berisi syair sindiran protes atas perlakuan semena-mena penjajah Belanda terhadap para pekerja.
“Dari cerita pekerja rodi pembangunan jembatan kali Tuntang, Belanda berlaku semena-mena terhadap mereka. Selain sebagai hiburan, orek-orek jadi media perlawanan atas perlakuan semena-mena Belanda,” kisah Sri.
Sri Widajati mengaku sempat melakukan penelitian pada tahun 1981 tentang asal mula kesenian orek-orek di Ngawi dengan bertemu langsung para pelaku sejarah yang juga merupakan pekerja rodi saat membangun jembatan di kali Tuntang Semarang.
“Pelaku sejarahnya banyak dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kalau yang dari Ngawi ada Pak Sakijo, Sakimun, Lamin, Soleman dan Dateng dan lain-lain. Mereka adalah para pekerja rodi di Semarang yang menjadi pelaku kesenian orek-orek saat itu. Rumah mereka di Desa Pleset, Kecamatan Pangkur,” jelasnya.
Pada awalnya kesenian Orek-orek merupakan hiburan bagi pekerja rodi setelah mereka bekerja di bawah tekanan tentara Belanda. Kesenian orek-orek awalnya adalah syair yang diiringi tetabuhan seadanya, seperti peralatan kerja mereka, beduk, lesung, perangkat gamelan ataupun besi yang mereka temukan di lokasi kerja rodi.
Semua mereka padu dengan tembang atau cerita, bahkan ada cerita yang di peragakan seperti ketoprak. Ciri khas dari kesenian Orek-orek adalah adanya syair tentang sindiran kepada penjajah Belanda, cerita kepahlawanan maupun syair tentang kehidupan yang bisa menghibur pekerja rodi atas nasib yang mereka alami.
Nama Orek-orek sendiri berawal dari pertanyaan para pejabat Belanda terkait nama kesenian yang dibawakan pekerja rodi saat peresmian jembatan Kali Tuntang.
“Tentara Belanda heran, ada kesenian yang bercorak-corak, jadi mereka bertanya nama keseniannya. Pekerja rodi tidak ada yang bisa menjawab, namun mereka mendengar orang Belanda mengatakan kesenian yang mereka bawakan bercorak-corak dengan logat mereka. Akhirnya beredar di kalangan pekerja rodi kalau kesenian itu namanya Orek-orek dari kata corak-corak logat Belanda terdengar menjadi Orek-orek,” jelasnya.
Asal mula Orek-orek ngamen
Setelah pembangunan jembatan Kali Tuntang selesai, para pekerja rodi diperbolehkan pulang ke daerah asal mereka, termasuk pekerja rodi dari Kabupaten Ngawi.
Sayangnya, kepulangan mereka tidak mendapatkan upah kerja sama sekali. Jangankan untuk makan, untuk perjalanan pun mereka tidak punya uang.
“Mereka pulang tanpa mendapatkan upah sepeser pun. Pekerja rodi dari Ngawi akhirnya pulang dengan jalan kaki dari Semarang. Kata mereka, bisa pulang hidup-hidup sudah beruntung,” kata Sri Widajati.
Untuk memenuhi kebutuhan makan selama perjalanan pulang ke Ngawi, para pekerja rodi dari Ngawi akhirnya memilih ngamen kesenian Orek-orek di setiap desa yang mereka singgahi.
“Mereka memanfaatkan peralatan gamelan seadanya dan juga peralatan yang mereka punya untuk ngamen selama perjalanan menuju Ngawi. Sejak saat itu masyarakat mengenal kesenian Orek-orek itu sebagai kesenian ngamen keliling. Waktu kecil saya suka nonton, ngikutin Orek-orek ngamen sampai desa tetangga,” kenang Sri Widajati
Senjakala Orek-orek
Sri Widajati mengaku lebih menyukai kesenian wayang kulit daripada menari. Dunia tari awalnya dikenalkan oleh guru sekolah SR atau sekolah rakyat pada saat menjadi siswa di Desa Kwadungan tahun 1962.
Setiap acara perpisahan, Sri Widajati kecil pasti disuruh menghibur tamu undangan.
“Dari kecil saya suka wayang kulit dan awalnya saya tidak bisa nari. Saya kemudian diajari nari oleh guru SR Kwadungan dan setiap tahun disuruh menari di acara perpisahan sekolahan,” terangnya.
Setelah lulus SMP, Sri Widajati meneruskan sekolah di Konservatori di Surakarta hingga tahun 1971 karena ketertarikannya kepada dunia dalang. Pada tahun 1975 dia melanjutkan sekolah di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, saat ini namanya Institut Seni Indonesia (ISI).
Pada tahun pertama sebagai mahasiswi Aski, Sri Widajati diangkat menjadi staf di Dinas Kebudayaan Ngawi. Setelah lulus dari ASKI dia menekuni menjadi ASN di Dinas Kebudayaan Kabupaten Ngawi hingga tahun 1974 di mana di tahun tersebut dia mendapat tugas belajar seni ke Padepokan Bagong Kussudiardjo Yogyakarta.
Di sana dia mengaku mempelajari semua bentuk kesenian tari, ketoprak, wayang orang, melukis dan membatik. Semua kesenian dia pelajari hingga satu tahun lebih.
"Di sana saya dapat kendangnya Pak Bagong karena dia bertaruh kalau saya bisa ngendang akan diberi kendangnya. Dan, kebetulan saya bisa ngendang, sampai sekarang kendang kenangan dari beliau masih saya simpan,” katanya.
Pada tahun 1979, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyelenggarakan lomba tarian khas daerah. Sri Widajati melihat kesenian Orek-orek mulai ditinggalkan masyarakat.
“Akhirnya kita meminta izin untuk mengambil nama Orek-orek sebagai tarian yang akan dilombakan di Jawa Timur. Pada saat itu Surabaya mengajukan tari Remo, Ponorogo reyog. Karena Orek-orek di Ngawi mulai punah saya mengambil nama Orek-orek sebagai tari dengan tujuan melestarikan Orek-orek karena gamelan yang mengiringi ya kesenian Orek-orek,” kenangnya.
Selain menciptakan gerak tari, untuk mengiringi gerakan tarian tersebut, Sri Widajanti menggandeng Suripto menggubah syair Orek-orek yang berisi tentang sindiran kepada orang Belanda menjadi syair tentang pergaulan remaja yang sedang bekerja dengan semangat.
Sementara gerak tarinya diambil dari kegiatan para pekerja rodi yang bekerja menyelesaikan pembangunan jembatan di Kali Tuntang.
“Penggambarannya tari pergaulan di mana remaja putri dan putra ini orang yang sedang giat bekerja. Gerakan bekerjanya kita ambil dari cerita pekerja rodi, kemudian ada syair di lagu itu dengan selingan kata jes jes, itu artinya mereka lagi minum. Setelah giat bekerja mereka ingin bersenang-senang karena pekerjaan membangun jembatan selesai,” urainya.
Upayanya mengangkat kesenian Orek-orek melalui tarian berhasil membawa tari tersebut menjadi tarian khas Kabupaten Ngawi dan masuk 10 besar di kegiatan lomba tari di Provinsi Jawa Timur. Pada saat itu, Orek-orek menjadi identitas Kabupaten Ngawi seperti halnya reyog identitas Kabupaten Ponorogo.
“Dulu terkenalnya Ngawi kota orek orek,” kata Sri Widajati.
Masuk Muri
Keberhasilan tari Orek-orek bahkan tercatat memecahkan rekor Muri pada tahun 2014. Pada Hari Minggu (31/8/2014) sebanyak 15. 316 warga Ngawi terdiri dari pelajar dan mahasiswa se-Kabupaten Ngawi menarikan tari Orek-orek massal di Alun-alun Merdeka Kabupaten Ngawi dalam rangka memperingati HUT ke-69 RI dan Hari Jadi Ke-656 Kabupaten Ngawi.
“Dapat rekor Muri, tapi saya hanya dapat pelakat fotokopinya. Katanya kalau mau dapat pelakat asli selaku pencipta tari Orek-orek harus bayar,” ujarnya.
Berkat tari Orek-orek masuk Muri membuat Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) saat itu memberikan apresiasi kepada Sri Widajati dengan mengundang tampil di ulang tahun ke-66 SBY di Taman Mini Indonesia Indah.
Saat itu SBY meminta langsung kepada pemerintah daerah agar seniman tari Orek-orek bisa tampil. Namun karena kesibukan pemerintah daerah menyambut HUT Kabupaten Ngawi, mereka menolak permintan presiden.
Tak bisa melalui pemrintah daerah, utusan Presiden SBY datang langsung mengajak Sri Widajati untuk tampil di TMII denga membawa bus untuk mengangkut rombongan penari Orek-orek.
“Kita berangkat rombongan penarinya ada 46 orang. Bus itu tiba-tiba parkir di depan rumah situ,” katanya.
Sata berada di TMII, latihan dilakukan dengan menggunakan musik pengiring dari sound system. Karena di panggung terdapat gamelan, rombongan dari Ngawi akhirnya memilih mengiringi tari Orek-orek dengan gamelan langsung.
"Pada saaat itu penggendangnya kesulitan mengikuti ketukan tarian Orek-orek, akhirnya saya sendiri yang mengiringi gendangnya. Pak SBY sempat tanya perempuan kok bisa ngendang,” kenang Sri Widajati sambal tersenyum.
Selain dari mantan Presiden SBY, SriWidajati juga mendapat apresiasi dari Gubernur Khofifah Indar Parawansa dengan menerima anugerah sebagai kreator bidang seni tari pada tahun 2022 lalu.
Nama Sri Widajati saat ini juga tengah diusulkan oleh Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur untuk mendapatkan nominasi sebagai Maestro Seni dan Budaya bersama sejumlah seniman dari Banyuwangi mewakili karawitan. Kabupaten Tulungagung mewakili seni ketoprak. Kabupaten Bangkalan mewakili dalang dan Deni Cak Nan selaku penggiat seni campursari.
“Ini masih proses, baru beberapa minggu lalu untuk nominasi sebagai Maestro Seni dan Budaya,” katanya.
Tak tampil di HUT Ke-666 Ngawi
Selain tari Orek-orek, Sri Widajati juga telah menghasilkan sejumlah gerak tari yang berjumlah lebih dari 30 tari seperti tari Kecetan, tari Klantung, tari Pentul Melikan, Beksan Ngawiyat, Beksan Ngawi ramah serta sejumlah tarian lainnya.
Sebagain dari tari miliknya telah memiliki hak intelektual (haki) atau hak cipta. Sayangnya di tengah persiapan HUT Ke-666 Kabupaten Ngawi tahun ini, tari Orek-orek tak masuk daftar seni yang akan ditampilkan.
Sri widajati mengaku sedih tari yang pernah menjadi ikon Kabupaten Ngawi dengan Ngawi Kota Orek-orek tersebut tak mendapat tempat dalam acara peringatan hari ulang tahun Ngawi.
“Harapan saya tari Orek-orek dikembangkan terus agar kesenian ini tidak punah. Sekarang banyak generasi muda yag sudah tidak tahu apa itu Orek-orek,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Budaya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ngawi, Cita mengatakan, meski belum ada agenda menampilkan tari Orek-orek dalam kegiatan HUT Ke-666 Ngawi, namun pemerintah daersah saat ini telah mengusulkan tari Orek-orek menjadi warisan budaya tak benda melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi.
“Kalau kaitannya untuk HUT Ngawi kita belum ada agenda untuk itu, tapi upaya untuk pelestarian tari Orek-orek kita usulkan menjadi WBTB ke Kemendikbudristek. Ini masih mengumpukan persyaratan karena banyak sekali syaratnya,” kata Cita.
https://surabaya.kompas.com/read/2024/06/11/090336078/tari-orek-orek-ngawi-seni-perjuangan-pekerja-rodi-yang-terancam-punah