KOMPAS.com - Sungguh malang nasib Jumadi (71) dan putranya, Rehan (7), warga Dusun Krajan, Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Ayah dan anak ini sudah hampir 7 tahun tinggal di pondok bekas tempat petani kelapa memasak air nira.
Lokasinya berada di tengah pekarangan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi di belakang pemukiman warga.
Baca juga: Sepertiga Penduduk Indonesia Tinggal di Rumah Tak Layak Huni
UPDATE : Kompas.com menggalang donasi kisah kakek Jumadi. Para pembaca dapat memberikan uluran tangannya dengan cara klik di sini
Sungguh, tempat tinggal Jumadi dan Rehan jauh dari kata layak untuk ditinggali manusia.
Bangunan berukuran 2x3 meter yang terbuat dari kayu dan bambu tanpa ada satu pun penutup di empat sisi penjurunya.
Embusan angin setiap harinya langsung menerpa badan mereka baik siang maupun malam.
Satu-satunya pelindung dari teriknya matahari dan dinginnya air hujan hanyalah genteng.
Itu pun, kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Lubang-lubang pada genteng sudah tidak terhitung jumlahnya.
Sampai-sampai, untuk berlindung dari tetesan air hujan, Jumadi memasang kain perlak di atas tempat tidur yang berada di salah satu sudut pondok.
Tentu, upaya itu tidak cukup untuk melindungi dari dinginnya malam. Apalagi, alas tempatnya tidur hanyalah kasur lantai tipis yang sudah kumal karena debu dan rontokan genteng serta kayu yang sudah lapuk.
Di tempat yang sangat sempit itu hanya ada satu ruangan berukuran 1x1,5 meter yang terbuat dari bambu.
Ruangan itu digunakan untuk meletakkan perabotan rumah tangga seperti gelas, piring dan beberapa helai pakaian yang mereka gunakan.
Di sebelahnya adalah tempat tidur berupa papan dari kayu yang di atasnya diletakkan kasur lantai.
Baca juga: Kisah Rudik, Pria Asal Kota Batu yang Hidup dalam Kegelapan Malam di Rumah Tak Layak Huni
Kemudian, tepat di depan dua tempat tadi adalah tungku perapian dengan tumpukan kayu bakar yang berserakan.