Kue bolu di Kabupaten Magetan bukan hanya sekadar kuliner biasa. Keberadaannya turut memberi warna sejarah perjalanan kabupaten di kaki Gunung Lawu.
Setiap memperingati hari kelahiran Kabupaten Magetan, dipastikan ribuan kue bolu akan dibagikan kepada masyarakat dalam kegiatan andum bolu rahayu yang biasanya diselenggarakan di alun-alun Kabupaten Magetan.
Baca juga: Fungsi Roombutter pada Kue Bolu, Bikin Lebih Wangi
Ribuan masyarakat Magetan dengan antusias akan memperebutkan kue khas Magetan tersebut yang disusun menjadi berbagai bentuk seperti gunungan, lesung, bedug, gong.
Susunan itu disertai gunungan yang terbuat dari hasil pertanian dan kebun seperti kacang panjang, jagung hingga labu, ubi dan hasil kebun lainnya.
Sebagian warga bahkan rela bedesak-desakan agar bisa mendapatkan kue bolu.
Kegiatan budaya andum bolu rahayu yang dilaksanakan setiap tahun merupakan kegiatan untuk nguri uri kekayaan tradisi budaya khas Magetan dalam bidang seni, kuliner, hingga gaya busana agar generasi muda mengetahui sejarah perjalanan Kabupaten Magetan.
“Kegiatan andum bolu rahayu ini untuk memelihara tradisi dan transformasi ke anak-anak kita. Maknanya adalah kita makan bersama-sama tidak ada perbedaan sebagai bentuk berkah,” ujar budayawan Magetan, Siswandoyo.
Sebelum acara rebutan kue bolu dalam andum berkah bolu rahayu di alun-alun, ada sebuah tradisi yang sudah dilakukan turun temurun di Kabupaten Magetan, yaitu kirab Nayokoprojo.
Kirab ini merupakan arak-arakan pejabat di Magetan yang dipimpin langsung oleh Bupati Magetan yang menjabat.
Baca juga: Bedanya Lapis Legit dengan Lapis Surabaya, Kue Bolu Tradisional Indonesia
Kirab ini biasanya menggunakan kereta kencana, andong, serta kuda. Kirab tersebut biasanya dimulai dari pendopo Kabupaten Magetan kemudian menyusuri sejumlah jalan protokol di Magetan dan kembali ke alun alun.
Siwandoyo menjelaskan, kirab Nayokoprojo dengan berkeliling kota merupakan penggambaran dari manunggaling kawulo gusti yang artinya pentingnya para petinggi negara turun ke jalan agar mengetahui kehidupan para warganya.
“Bisa digambarkan sebagai bentuk dari pemegang tampuk pimpinan di Kabupaten Magetan yang sedang melakukan tilik kawulo atau menyambangi masyarakatnya,” ucapnya.
Busana Kirab Nayokoprojo yang dikenakan menurut Siswandoyo juga harus mengenakan busana khas Magetan yaitu ageman gondokusuman dilengkapi blangkon kawibawan serta jarit nyabuk wolo.
Dalam sejarahnya, busana ageman gondokusuman merupakan busana yang dikenakan oleh Basah Bibit Gondokusumo.
Ia seorang kerabat Keraton Mataram atau Keraton Solo yang saat itu menyamar menjadi masyarakat biasa agar tidak diketahui tentara Belanda saat melarikan diri dari tempat pengasingannya di Kota Semarang menuju ke arah timur.
Baca juga: Kapten Barito Putera Isi Jeda Kompetisi dengan Jualan Kue Bolu
Basah Bibit Gondokusumo atau Raden Tumenggung Yosonegoro merupakan pejabat bupati pertama Magetan yang menjabat dari tahun 1675 hingga 1703.
RT Yosonegoro diwisuda sebagai Bupati Magetan pada tanggal 12 Oktober 1675 yang merupakan tanggal resmi lahirnya Kabupaten Magetan.
Sebelum kirab Nayokoprojo dilaksanakan, biasanya ada satu lagi tradisi yang dilaksanakan, yaitu festival Ledug atau lesung dan bedug.
Lesung merupakan alat pertanian sebagai penumbuk padi pada zaman dahulu sementara bedug merupakan peralatan musik yang mengiringi lesung pada saat itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.