KEDIRI, KOMPAS.com - Dusun Setono di Desa Tales, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, mempunyai aturan unik peninggalan nenek moyang mereka yang terpelihara hingga kini, yakni melarang pejabat memasuki wilayah dusunnya.
Masyarakatnya juga percaya jika aturan itu dilanggar maka akan ada konsekuensinya. Biasanya adalah kehilangan jabatan atau jatuh sakit.
Larangan itu bahkan terpampang dalam sebuah plakat yang dipasang di pintu gerbang masuk sebuah gang di dusun tersebut.
Baca juga: 4 Pakaian Adat NTT Terpilih Jadi Busana Terbaik Saat Upacara Bendera di Istana Negara
Kepala Bidang Purbakala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri Eko Priyatna mengatakan, larangan itu sudah dikenal sejak zaman Belanda, yaitu dengan istilah verboden voor binnenlands bestuur atau larangan masuk bagi pegawai negeri.
"Jadi di wilayah itu para pegawai pejabat dilarang masuk," ujar Eko Priyatna kepada Kompas.com, Rabu (23/8/2023).
Selain di Dusun Setono yang ada di Desa Tales, aturan seperti itu rupanya juga berlaku di wilayah lainnya di Kabupaten Kediri, yakni di Dusun Gempol Garut yang ada di Desa Toyoresmi, Kecamatan Ngasem.
Namun latar belakang terbitnya aturan di dua tempat itu berbeda. Pada Dusun Setono dilatarbelakangi oleh kisah asmara, yaitu penolakan seorang putri terhadap priyayi yang meminangnya.
Putri yang konon bernama Ambarsari itu kemudian melarikan diri dan bersembunyi di wilayah Setono.
Untuk melindungi tempat persembunyiannya, dia berujar bahwa siapapun priyayi yang masuk wilayah persembunyiannya akan lengser dari jabatannya.
Baca juga: Busana Adat Suami Istri Asal Banyuwangi Terpilih Jadi Terbaik Ketiga Saat Upacara di Istana
Sedangkan di Dusun Gempol Garut, Eko Priyatna mengatakan, pelarangannya dipicu oleh pembangkangan warga terhadap pemerintahan penjajahan Belanda.
Masyarakat saat itu menolak aturan-aturan yang dibuat Belanda, misalnya soal tarikan pajak atau hal lainnya yang memberatkan warga.
"(Aturan di) Toyoresmi sebagai wujud penolakan atas pemerintahan yang berbau Belanda. Masyarakat tidak setuju, sehingga ada ujaran pejabat masuk sana akan lengser," lanjutnya.
Cerita yang melatarbelakangi aturan tersebut, menurut Eko, tidak masuk pada ranah sejarah melainkan cenderung mitos. Atau tepatnya gugon tuhon, yakni suatu tradisi yang diingat dan dipertahankan di masyarakat setempat secara lisan.
"Bukan ramah sejarah, lebih cenderung ke mitos atau bahasa Jawanya gugon tuhon," kata Eko.
Gugon tuhon itu sendiri, menurutnya, merupakan khasanah budaya yang keberadaannya dilindungi oleh regulasi, yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Terhadap dua gugon tuhon yang ada di Kabupaten Kediri itu, pihaknya telah memasukkannya sebagai Obyek Pemajuan Kebudayaan (OPK) dan telah terdata pada Pokok-pokok Pemajuan Kebudayaan Daerah (PPKD).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.