Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peternak di Blitar Diimbau Tak "Panic Selling" Imbas Wabah PMK

Kompas.com, 13 Mei 2022, 15:00 WIB
Asip Agus Hasani,
Priska Sari Pratiwi

Tim Redaksi

BLITAR, KOMPAS.com - Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blitar mengimbau peternak tak terjebak pada situasi "panic selling" ternak sapi di tengah merebaknya wabah penyakit mulut dan kaki (PMK).

Panic selling atau kepanikan menjual dinilai akan memperluas dampak kerugian yang dialami peternak dan warga pemilik ternak sapi serta hewan berkuku belah lainnya.

Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Blitar, Nanang Miftahudin mengatakan, kepanikan berlebihan pada terjadinya wabah PMK akan memperluas dampak sosial dan ekonomi dari wabah.

Baca juga: Nestapa Peternak di Lumajang, Pilih Jual Sapi dengan Harga Murah Imbas Wabah PMK

"Panic selling ini yang kemarin pada rapat koordinasi lintas sektor menjadi perhatian kami di dinas bahwa peternak berada pada situasi psikologis panik kemudian menjual sapi mereka dengan harga murah," ujar Nanang kepada Kompas.com, Jumat (13/5/2022).

Nanang mengaku sudah mendengar informasi mulai terjadi panic selling di kalangan peternak hewan berkuku belah terutama sapi.

"Dan ada yang memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan sapi murah atau daging murah. Mereka mengembuskan kabar bahwa PMK ini mematikan. Dari pada sapi mati mending dijual saat ini dengan harga berapa pun," paparnya.

Menurut Nanang, jika warga termakan situasi kepanikan yang berlebihan dalam menghadapi wabah PMK, maka mereka bisa menjual sapi dengan harga separuh dari harga pasaran.

"Kami mendengar sudah ada yang menjual seekor sapi hanya Rp 4 juta dengan harga pasaran di atas Rp 10 juta," tuturnya.

Baca juga: Cerita Peternak Sapi Gresik: Wabah PMK seperti Pukulan Telak Jelang Idul Adha...

Tingkat kematian rendah

Serupa wabah Covid-19, kata Nanang, PMK pada sapi dan hewan berkuku belah lainnya dapat menyebar dengan mudah dan cepat termasuk melalui udara (airborne).

Meski mudah menular, lanjutnya, PMK yang disebabkan oleh virus dari keluarga Picornaviridae itu hanya memiliki risiko kematian yang rendah yaitu antara 1-5 persen dari populasi ternak yang terjangkit.

"Angka kematian itu pun sebenarnya hanya berlaku pada sapi muda atau istilah Jawa-nya pedhet. Pada sapi dewasa, seharusnya angka kematian lebih rendah lagi," ujar Nanang yang juga dokter hewan lulusan Universitas Gadjah Mada itu.

Nanang menegaskan, PMK pada hewan ternak sangat bisa ditangani hingga kesembuhan total.

Tingkat kematian hanya akan meningkat jika sapi atau ternak yang terinfeksi tidak segera mendapatkan penanganan.

Baca juga: Harga Sapi di Kota Malang Naik di Tengah Wabah PMK

Pada hari ketiga setelah infeksi, kata dia, sapi akan mulai mengeluarkan lendir dan busa dari mulut dan luka pada rongga mulut.

Kemudian pada hari kelima atau keenam, lanjutnya, virus mulai menginvasi bagian ujung kaki di sekitar kuku yang jika tidak ditangani akan berakhir dengan lepasnya kuku ternak.

Terdapat setidaknya enam gejala, kata dia, termasuk suhu badan tinggi, tidak mampu berdiri, tidak mau makan, dan lainnya.

"Langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera melapor ke perangkat desa, ke mantri hewan, atau ke call center kami di 085257200900," ujarnya.

Baca juga: Sapi Asal Jatim Masuk Lewat Pelabuhan, Pemprov Kalsel Belum Temukan Kasus PMK

Asupan makanan

Peternak juga dapat melakukan penanganan sendiri pada sapi yang terjangkit PMK sembari menunggu petugas datang.

"Penanganan pertama tentu dengan mengkarantina ternak terjangkit, menjaga kebersihan kandang dan tubuhnya," ujarnya.

"Dan satu lagi yang sangat penting adalah memastikan ternak tetap mendapatkan asupan nutrisi melalui makan dan minum," imbuhnya. 

Kata Nanang, sapi yang terjangkit PMK akan malas hingga sama sekali tidak bersedia makan karena mulai muncul lesi atau luka di rongga mulutnya.

Baca juga: Cegah PMK, Pemkab Karawang Minta Peternak Perketat Pemeriksaan Kesehatan Hewan dari Luar Daerah

Namun pemilik harus tetap memberikan nutrisi pada ternaknya dengan cara membuat adonan makanan yang dapat diasupkan melalui mulut sapi tanpa harus dikunyah.

"Sebenarnya sudah ada cara lama yang biasa digunakan yaitu dengan membuat adonan bekatul dan gamblong dengan jumlah air yang agak banyak agar mudah dimasukkan ke mulut sapi," jelasnya.

Salah satu cara memasukkan adonan makanan tersebut, kata dia, dengan menggunakan bambu yang salah satu ujungnya dipotong miring sehingga meruncing di bagian ujung.

Menurut Nanang, jika peternak dapat menjaga sapi tetap mendapatkan asupan nutrisi melalui makanan secara rutin dua atau tiga kali sehari maka akan memberikan waktu bagi mekanisme kekebalan tubuhnya untuk melawan virus penyebab PMK.

"Sebaliknya, kalau tidak mau makan dan dibiarkan ya pasti akan berakhir dengan kematian," tutur Nanang. 

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Bus Wisatawan Jadi Tawanan Warga Lokal di Banyuwangi Gara-gara Tak Bayar Rp 150.000
Surabaya
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Residivis Pencurian Ternak Serang Polisi Pakai Parang, Pelaku Tewas Tertembak
Surabaya
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Pemkot Surabaya Bakal Gelar Acara Galang Dana untuk Korban Banjir Sumatera
Surabaya
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Sikapi Polemik PBNU, Pengasuh Pesantren Tebuireng Ingatkan soal Pentingnya Musyawarah dan Qanun Asasi
Surabaya
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Lokomotif Kereta Kertanegara Mogok di Kediri, Perjalanan Molor 151 Menit
Surabaya
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
BMKG Prediksi Cuaca Ekstrem di Surabaya dan 38 Kota/Kabupaten di Jawa Timur Mulai 11–20 Desember 2025
Surabaya
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Surabaya
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Surabaya
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
Surabaya
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Surabaya
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Surabaya
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Surabaya
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
Surabaya
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
Surabaya
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau