SURABAYA, KOMPAS.com - Di era kemajuan teknologi, banyak orang menjadikan pinjaman online (pinjol) sebagai solusi instan untuk keluar dari permasalahan finansial.
Proses yang mudah serta pencairan dana yang cepat menjadi daya tarik tersendiri dari layanan ini.
Namun, kemudahan ini justru menjadikan banyak orang terjebak dalam jerat pinjaman.
Menurut Dosen Hukum Perlindungan Konsumen Universitas Airlangga (Unair) Dr. Ria Setyawati, pinjol di Indonesia legal jika diselenggarakan oleh perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending yang telah terdaftar dan memiliki izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca juga: Benarkah secara Psikologis Perempuan Lebih Rentan Terjebak Pinjol?
Legalitas ini diatur melalui POJK No. 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
“Jika tidak terdaftar di OJK, maka pinjol tersebut dianggap ilegal dan tidak sah secara hukum,” kata Ria saat dihubungi Kompas.com, Rabu (23/4/2025).
Untuk memastikan legalitas pinjol, calon nasabah bisa melaporkan ke Satgas Waspada Investasi (SWI) atau Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) untuk memverifikasi legalitas pinjol.
Baca juga: Kenapa Pinjol Semakin Dilirik Saat Ekonomi Sulit? Ini Kata Pakar Unair
Sementara itu, untuk mengajukan keringanan atau restrukturisasi utang, Ria menuturkan bahwa pinjol ilegal tidak memiliki mekanisme restrukturisasi resmi, karena tidak berada dalam pengawasan OJK.
Maka, solusinya, nasabah tidak perlu membayar utang pada pinjol ilegal karena perjanjian yang dibuat oleh entitas ilegal tidak sah secara hukum.
“Jika ternyata aktivitas pinjol ilegal itu meresahkan, misalnya menetapkan bunga yang terlalu tinggi atau model penagihan yang melanggar hukum, maka dapat dilaporkan ke OJK agar operasionalnya ditindak,” tuturnya.
Sama halnya dengan nasabah yang terjerat utang, pada prinsipnya utang tetap harus dibayarkan sesuai perjanjian. Namun, penagihan harus sesuai etika, tidak boleh ada kekerasan, teror, atau intimidasi.
Apabila terjadi ancaman, intimidasi, atau penyebaran data pribadi nasabah, maka masyarakat dapat melapor ke kepolisian.
“Juga bisa langsung saja blokir akses pinjol ilegal di perangkat dan minta pendampingan dari lembaga bantuan hukum (LBH) untuk korban pinjol ilegal,” ujarnya.
Jika memang terbukti, pihak pinjol dapat dikenakan pelanggaran Undang-undang (UU) ITE apabila terjadi eksploitasi digital, maupun KUHP jika terdapat unsur pemerasan atau ancaman.
“Peminjam juga bisa minta perlindungan ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) jika korban merasa terancam,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang