SURABAYA, KOMPAS.com - Pinjaman online (pinjol) semakin populer sebagai metode cepat untuk mendapatkan uang tambahan.
Dengan persyaratan yang mudah, tanpa minimum nominal pinjaman, dan tanpa jaminan, pinjol menjadi pilihan menarik bagi masyarakat.
Namun, metode ini juga dapat menyebabkan kerugian signifikan bagi mereka yang tidak mampu membayar.
Banyak korban pinjol terpaksa mencari bantuan psikolog untuk pemulihan mental.
Dosen Psikologi Universitas Airlangga (Unair), Atika Dian Ariana, menjelaskan bahwa korban pinjol sering mengalami dampak psikologis serius seperti perasaan seakan terus dikejar, stres berat.
Baca juga: Kenapa Pinjol Semakin Dilirik Saat Ekonomi Sulit? Ini Kata Pakar Unair
Bahkan ada yang mengarah depresi apabila tidak mendapatkan penanganan yang tepat.
Tekanan sosial juga menjadi masalah bagi korban, yang sering kali dihadapkan pada stigma sebagai 'pengutang'.
"Apalagi kalau korban ini tidak punya penghasilan, maka akan menimbulkan pandangan dari orang sekitar bahwa dia tidak tahu diri, tidak ada penghasilan kok pinjol," tambahnya.
Proses pemulihan mental bagi korban pinjol melibatkan penumbuhan rasa tanggung jawab, pemahaman akan konsekuensi dari setiap pilihan, serta pembentukan pola pikir yang lebih luas.
"Memang, kalau untuk meringankan beban pinjolnya kita tidak bisa bantu, tapi pemulihan secara mental agar korban tidak kecanduan pinjol dan menumbuhkan rasa tanggung jawab itu yang diperlukan," tegas Atika.
Dukungan dari orang-orang terdekat juga sangat penting dalam proses pemulihan mental.
Atika menekankan bahwa lingkungan sekitar terkadang menjadi pemicu bagi korban untuk terjebak dalam pinjol.
"Terkadang justru lingkungan sekitar yang menjadi pemicu korban masuk ke dalam jebakan pinjol, seperti sering mendapat kritik tentang pakaiannya atau gaya hidupnya," ujarnya.
Baca juga: Alasan Mengapa Perempuan Lebih Rentan Terjebak Pinjol, Ingin Tampil Cantik dan Mewah
Budaya fear of missing out (FOMO) dan iklan agresif juga berkontribusi terhadap meningkatnya tren pinjol di Indonesia.
"Contohnya, pasif endorsement yang dilakukan dengan menawarkan produk pinjol melalui kolom komentar influencer atau tokoh publik di media sosial," ujar Atika.
Ia mencatat, banyak perempuan yang memiliki waktu lebih untuk menggulir komentar, dan setelah melihat promosi beberapa kali, mereka akhirnya mencoba pinjol.
Atika berpesan agar masyarakat menjaga kesehatan mental dan kebahagiaan diri sendiri lebih penting daripada sekadar mengikuti tren atau menuruti perkataan orang lain.
"Membiasakan pola hidup sehat dengan berhenti membandingkan diri, baik secara offline maupun online, serta memberikan reward pribadi jika memang layak tanpa memaksakan diri," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang