SURABAYA, KOMPAS.com - Pinjaman online (pinjol) merupakan layanan pemberian pinjaman uang yang dilakukan secara daring (online), biasanya melalui aplikasi atau situs web.
Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adanya peningkatan pembiayaan peer-to-peer lending (P2P lending) atau pinjaman online (pinjol) hingga akhir Februari 2025 tumbuh 31,6 persen (yoy) menjadi Rp 80,7 triliun.
Baca juga: Terjerat Pinjaman Online, Pria di Banjarmasin Bobol 3 Minimarket
Guru besar Investasi dan Keuangan Universitas Airlangga (Unair) Prof. Dr. Imron Mawardi, S. P., M.Si mengatakan, peningkatan tren pinjaman online di Indonesia terjadi selain karena berbagai kemudahan akses yang ditawarkan, tetapi juga budaya konsumerisme yang sangat tinggi di masyarakat.
“Masyarakat setiap hari pasti memegang gadget sehingga sangat mudah sekali untuk tergiur hal-hal yang sebenarnya bukan kebutuhan tapi hanya sekadar keinginan, lalu mulailah berbelanja,” kata Imron kepada Kompas.com, Jumat (18/4/2025).
Selain itu, penawaran pinjol seperti iklan yang sangat agresif, serta masih minimnya literasi keuangan membuat masyarakat lebih mudah tertarik untuk mendapatkan pinjol.
“Karena literasi keuangan juga masih rendah sehingga kalau butuh sesuatu masyarakat akan langsung mengakses (pinjol) tanpa memikirkan besaran bunganya dan efek yang ada,” ujarnya.
Ditambah lagi, di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang semakin pelik, justru semakin meningkatkan angka peminjam online.
“Keempat faktor tersebut yang menurut saya pinjol ini akan tetap menjadi pilihan masyarakat, apalagi di tengah ketidakpastian ekonomi seperti saat ini,” tuturnya.
Baca juga: Alasan Mengapa Perempuan Lebih Rentan Terjebak Pinjol, Ingin Tampil Cantik dan Mewah
Sementara itu, berdasarkan data yang dihimpun Kompas.com, jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, tingkat penyaluran pinjaman lebih banyak dilakukan oleh nasabah perempuan.
Dengan jarak penyaluran pinjaman antara perempuan dan laki-laki yang melebar dari 52,3 persen menjadi 54,8 persen, yang mana mengindikasikan adanya kerentanan perempuan untuk terpaksa mengambil pinjol.
Imron menjelaskan adanya kecenderungan perempuan yang lebih emosional dibandingkan laki-laki, sehingga lebih mudah untuk terpikat pada penawaran-penawaran yang ada.
Hal ini juga mendorong perempuan untuk melakukan pembelian kebutuhan-kebutuhan sekunder, seperti keinginan tampil cantik, gaya hidup mewah, dan lain sebagainya sehingga semakin meningkatkan keinginan untuk melakukan pinjol.
“Apalagi sekarang ada satu model terbaru yakni paylatter yang sebenarnya tanpa kita sadari itu juga bentuk pinjol. Kalau kita mau beli barang dibayarnya nanti, itu juga menjadikan lebih banyak perempuan yang mengakses pinjol,” jelasnya.
Rata-rata perempuan yang menjadi korban pinjol berada di usia produktif dengan latar belakang pendidikan SMA yang belum memiliki penghasilan tetap.
“Padahal dampak pinjol ini bisa berkepanjangan, yang dikhawatirkan adalah kedepannya anak-anak ini gak bisa mengakses ke lembaga keuangan resmi, contohnya mau beli rumah, karena mereka sudah masuk ke dalam daftar hitam,” terangnya.