MALANG, KOMPAS.com - Ratusan tenaga lipat dan sortir surat suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menggelar aksi protes di rumah koordinator tenaga lipat dan sortir yang berlokasi di Desa Jatirejoyoso, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Sabtu (20/1/2024) malam.
Mereka kecewa kepada koordinator tenaga sortir dan lipat karena upah yang diberikan tidak sesuai dengan harga yang semestinya.
Salah satu pekerja tenaga lipat dan sortir surat suara, Hendro Simanjuntak mengatakan, ia bersama teman-temannya protes karena menilai sistem pengupahannya seharusnya dihitung per lembar, bukan per kardus.
"Kami hanya digaji Rp 60.000 untuk satu kardus surat suara pemilihan presiden, Rp 60.000 untuk satu kardus surat suara DPR RI, Rp 50.000 untuk surat suara DPRD, dan Rp 40.000 untuk satu kardus DPD," ungkapnya saat ditemui, Minggu (21/1/2023).
Baca juga: Dijadwalkan ke Malang Hari Ini, Berikut Dua Agenda Wapres Maruf Amin
Hendro menyebut, setiap kardus DPR RI, DPRD Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Malang, dan DPD Jawa Timur sebanyak 500 lembar. Sedangkan setiap kardus surat suara Pemilihan Presiden (Pilpres) sebanyak 2.000 lembar surat suara.
Sementara itu, Hendro menuntut agar tenaga lipat dan sortir mendapatkan upah senilai kurang lebih Rp 200-300 perlembar. Sehingga apabila dikalkulasikan dalam satu kardus yang berisi 500 surat suara, maka tenaga lipat mendapatkan upah Rp 150.000.
Baca juga: Lampung Kekurangan 16.109 Surat Suara buat Pemilu 2024
"Intinya kita menuntut agar nilai upah kami dinaikkan. Seperti referensi yang kami dapatkan di internet, mengacu pada UMR Malang senilai Rp 3,1 juta, maka harusnya kita digaji Rp 300 per lembar," ujarnya.
Dalam diskusi dan perdebatan, menurut Hendro, koordinator tenaga sortir mengaku tidak berani membayar per lembar. Bisanya tetap per kardus dengan harga yang berbeda dari awal.
"Yakni Rp 130 untuk pelipatan presiden, Rp 90 untuk DPR RI dan DPRD, Rp 70 untuk DPD," katanya.
Perdebatan kedua belah pihak terus berjalan alot dan tidak mendapatkan titik temu. Hingga akhirnya, menurut Hendro, pihaknya meminta untuk mengambil jalan tengah dalam penggajian itu. Yakni dari awalnya ditentukan per kardus, berubah perlembar dengan harga yang cukup rendah.