PAMEKASAN, KOMPAS.com - Warga Jalan Masjid Bagadan, Kelurahan Jungcangcang, Kecamatan Kota Pamekasan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur Imam Suhairi (75) mengaku keluarganya sudah 90 tahun lebih menjalani usaha jamu tradisional.
Imam merupakan generasi ketiga sejak usaha itu dirintis oleh kakek dan neneknya.
Namun Imam mengaku, usahanya kini sedang menurun drastis, terutama 10 tahun terakhir.
Padahal, sejak dirintis, produk jamu herbal bernama Potre Koneng itu diklaim sempat menembus pasar internasional.
Baca juga: Jamu Coro, Minuman Tradisional Khas Demak dari Zaman Kesultanan Bintoro
Pemasaran jamu tradisional Pamekasan, kata dia, pernah jaya dengan wilayah pemasaran Arab Saudi, Hongkong, Malaysia, Singapura, Korea, Jepang, Thailand, sampai Vietnam.
"Saya masih nututi zaman ayah dan ibu di mana jamu Madura itu tembus pasar dunia," kata Imam saat ditemui di acara Festival Jamu Pamekasan, Senin (27/11/2023).
Baca juga: Kisah Ngatiyem, Penjual Jamu Sebatang Kara yang Meninggal dalam Sunyi
Kini, jamu tradisional Madura sudah tidak lagi dipasarkan ke luar negeri. Bahkan banyak usaha dan toko jamu tradisional Madura yang tutup dan berhenti memproduksi jamu.
Menurut data paguyuban industri jamu tradisional Madura Pamekasan, sudah ada 10 pengusaha jamu tradisional yang tidak memproduksi jamu lagi. Yang tersisa, hanya sekitar 20 kelompok yang masih bertahan. Itu pun dengan tertatih-tatih.
"Pengusaha jamu herbal di Pamekasan kondisinya hidup segan, mati tak mau," ujar Imam.
Baca juga: Pedagang Jamu Tewas di Rumah Kontrakan, Polisi: Hidup Sebatang Kara
Imam menilai, salah satu penyebabnya adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 06 dan 07 Tahun 2012 tentang industri dan obat tradisional serta registrasi obat tradisional.
Aturan ini dinggapnya memberatkan pelaku industri jamu tradisional yang masih kecil dan menengah. Selain itu, perusahaan yang sebelumnya sudah memiliki izin edar, harus memperbarui semua perizinan.
"Izin lama tidak berlaku. Aturan prasarana semakin ketat karena tempat racikan jamu tidak boleh campur dengan rumah," ungkap Imam.
Menurutnya di aturan yang lama, satu pendamping UKM jamu tradisional yakni apoteker, bisa membina tiga UKM. Sedangkan aturan yang baru, satu apoteker untuk satu UKM.
"Dari mana biaya kami membayar apoteker? Kalau dulu kami bisa patungan dan masih ada subsidi dari pemerintah berupa honor kegiatan pendampingan apoteker," kata pria yang juga menjabat sebagai ketua paguyuban jamu tradisional Madura Pamekasan ini.
Baca juga: Kisah Ngatiyem, Penjual Jamu Sebatang Kara yang Meninggal dalam Sunyi
Aturan baru itu, lanjut dia, juga menghapus izin edar lama yang pernah dikantongi UKM.