MALANG, KOMPAS.com - Warini (45), warga Desa Ketindan, Kecamatan Lawang, sudah tidak muda lagi.
Ia tinggal sendirian di rumah sederhana setelah ditinggal suaminya beberapa tahun lalu, tanpa dikaruniai seorang anak.
Rumah Warini tampak tidak terawat. Perabot rumah, kursi, dan lemari tampak kusam, serta barang-barang terlihat berantakan di ruang tamu.
Maklum, Warini tidak punya banyak waktu untuk merapikan rumah warisan orangtuanya itu. Sebab, ia hidup sendiri. Sehari-hari ia harus berjibaku, bekerja untuk mencukupi kehidupannya.
Baca juga: Perjuangan Buruh Penyadap Nira di Purworejo, Tak Dibayar Pakai Uang, tapi Air Nira yang Disadap
Sejak tiga tahun terakhir, ia bekerja sebagai buruh petik daun teh di kebun Teh Wonosari milik sebuah perusahaan perkebunan teh di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Sebelumnya, ia pernah merantau ke berbagai kota besar, seperti Jakarta dan Ambon. Di sana ia sempat bekerja mengikuti jejak bibinya, sebagai pelayan di warung makan, dengan gaji tertinggi sebesar Rp 750.000 per bulan, sebelumnya akhirnya memutuskan pulang dan bekerja sebagai buruh petik daun teh pada tahun 2019.
"Di kebun teh Wonosari, saya pekerja lepas dengan sistem borongan," ungkapnya.
Artinya, ia bekerja tanpa ikatan dinas apapun dengan pengelola kebun teh Wonosari. Tapi diupah sesuai pendapatan hasil petiknya dalam sehari.
"Upahnya Rp 1.000 per kilogram," jelasnya.
Dalam sehari, ia bisa mendapatkan 30-50 kilogram, dengan sistem petik menggunakan mesin.
"Satu mesin bisanya ditangani oleh lima orang," ujarnya
Selama ini, ia memperkirakan bisa mengantongi gaji dari hasil memetik dauh teh mencapai Rp 1 hingga Rp 1,2 juta per bulan.
"Gajiannya dua kali dalam sebulan. Kalau dihitung total sebulan saya bisa menerima Rp 1 sampai 1,2 juta," ujarnya.
Nilai gaji itu, bagi Warini sudah cukup untuk menyambung hidupnya sehari-hari.
"Alhamdulillah cukup kalau untuk kebutuhan hidup sehari-hari di pedesaan gini," ujarnya.