Salin Artikel

Nasib Buruh Petik Teh di Malang, Upah Rp 1.000 Per Kg sejak 13 Tahun Silam

MALANG, KOMPAS.com - Warini (45), warga Desa Ketindan, Kecamatan Lawang, sudah tidak muda lagi.

Ia tinggal sendirian di rumah sederhana setelah ditinggal suaminya beberapa tahun lalu, tanpa dikaruniai seorang anak.

Rumah Warini tampak tidak terawat. Perabot rumah, kursi, dan lemari tampak kusam, serta barang-barang terlihat berantakan di ruang tamu.

Maklum, Warini tidak punya banyak waktu untuk merapikan rumah warisan orangtuanya itu. Sebab, ia hidup sendiri. Sehari-hari ia harus berjibaku, bekerja untuk mencukupi kehidupannya.

Sejak tiga tahun terakhir, ia bekerja sebagai buruh petik daun teh di kebun Teh Wonosari milik sebuah perusahaan perkebunan teh di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Sebelumnya, ia pernah merantau ke berbagai kota besar, seperti Jakarta dan Ambon. Di sana ia sempat bekerja mengikuti jejak bibinya, sebagai pelayan di warung makan, dengan gaji tertinggi sebesar Rp 750.000 per bulan, sebelumnya akhirnya memutuskan pulang dan bekerja sebagai buruh petik daun teh pada tahun 2019.

"Di kebun teh Wonosari, saya pekerja lepas dengan sistem borongan," ungkapnya.

Artinya, ia bekerja tanpa ikatan dinas apapun dengan pengelola kebun teh Wonosari. Tapi diupah sesuai pendapatan hasil petiknya dalam sehari.

"Upahnya Rp 1.000 per kilogram," jelasnya.

Dalam sehari, ia bisa mendapatkan 30-50 kilogram, dengan sistem petik menggunakan mesin.

"Satu mesin bisanya ditangani oleh lima orang," ujarnya

Selama ini, ia memperkirakan bisa mengantongi gaji dari hasil memetik dauh teh mencapai Rp 1 hingga Rp 1,2 juta per bulan.

"Gajiannya dua kali dalam sebulan. Kalau dihitung total sebulan saya bisa menerima Rp 1 sampai 1,2 juta," ujarnya.

Nilai gaji itu, bagi Warini sudah cukup untuk menyambung hidupnya sehari-hari.

"Alhamdulillah cukup kalau untuk kebutuhan hidup sehari-hari di pedesaan gini," ujarnya.

Sementara untuk kebutuhan makan di tempat kerja, ia membawa bekal sendiri dari rumah. Begitu pun, menurutnya, tidak ada jaminan kesehatan dari tempatnya bekerja.

"Jam kerja dari pukul 07,00 WIB sampai pukul 14.00 WIB," terangnya.

Saat berangkat, ia dijemput ke rumahnya oleh pengelola kebun teh Wonosari, menggunakan kendaraan truk, bersama pekerja lainnya di Desa Ketindan.

"Pulangnya kami jalan kaki ke rumah. Jaraknya sekitar 1 hingga 2 kilometer dari kebun teh ke rumah," ujarnya.

Pensiunan pekerja petik teh, Riati (56), menyampaikan hal senada. Pada masanya saat masih bekerja sebagai pemetik teh 13 tahun silam, ia digaji sebesar Rp 1.000 per kilogram.

"Dulu pada masa saya masih manual, petiknya masih manual menggunakan tangan. Sehari bisa dapat 30 kilogram," ungkapnya saat ditemui, Senin (31/7/2023).

Riati bekerja sebagai pemetik teh di Kebun Teh Wonosari selama 35 tahun, sebelum akhirnya memutuskan pensiun pada tahun 2009.

"Kalau pekerja bagian petik teh tidak ada yang diangkat pegawai tetap. Semuanya pegawai lepas, sistem borongan dengan metode pengupahan Rp 1.000 per kilogram," pungkasnya.

https://surabaya.kompas.com/read/2023/07/31/122711978/nasib-buruh-petik-teh-di-malang-upah-rp-1000-per-kg-sejak-13-tahun-silam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke