Wilayah Masalembu memang strategis dan kaya ikan karena berada di tengah jalur pertemuan ikan dari Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Nelayan lain, Jailani (35), asal Desa Sukajeruk, Kecamatan pulau Masalembu, mengaku pemerintah seolah tak berpihak kepada nelayan kecil.
“Kami seperti dipingpong. Polisi bilang itu urusan Polairut, ke kecamatan disuruh ke syahbandar, syahbandar suruh balik lagi ke polisi,” ujarnya.
Jailani berharap ada kehadiran nyata aparat di laut. Sebab nelayan Masalembu sama sekali tidak menggunakan cantrang. Mereka menangkap ikan dengan cara memancing atau menjala.
Namun ketika nelayan lokal berusaha menegur kapal luar yang menggunakan cantrang, sering dianggap main hakim sendiri.
“Kalau diam, laut rusak. Kalau bergerak, kami disalahkan,” keluhnya.
Baca juga: Pakai Jaring Cantrang Dekat Pantai, 5 Nelayan di Situbondo Ditangkap
Terakhir, nelayan pernah bersurat ke Ditpolairut Polda Timur agar ada tindakan terhadap pelanggaran di laut.
Nelayan juga berharap dengan adanya pangkalan kepolisian di Sumenep, khususnya di Pulau Masalembu, penanganan pelanggaran bisa lebih cepat dan efektif.
Seingat Jailani, ketika Bakamla (Badan keamanan laut) sempat bertugas di wilayah Masalembu sekitar sepuluh tahun lalu, pelanggaran bisa diminalisir.
“Waktu itu pelanggaran bisa diminimalisir. Tapi sejak Bakamla ditarik, laut seperti tanpa penjaga,” tutur dia.
Hingga kini, menurut Jailani, belum ada solusi konkret mengatasi keberadaan kapal cantrang dan porsen yang meresahkan nelayan lokal di perairan Masalembu.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang