Salin Artikel

Bertahun-tahun Cantrang dan Porsen Teror Laut Masalembu Sumenep, Nelayan Lokal Kian Terpinggirkan

Cara tangkap yang digunakan kapal-kapal itu merusak ekosistem laut dan mengancam keberlangsungan hidup nelayan tradisional.

Sunarto (45), Ketua Kelompok Nelayan Rawatan Samudera, mengatakan, praktik penggunaan cantrang sudah berlangsung lama dan hingga kini masih marak.

“Akibat cantrang, terumbu karang, rumah ikan rusak semua. Bahkan rumpon yang dibuat nelayan lokal juga ikut tertarik,” kata Sunarto kepada Kompas.com, Rabu (22/10/2025).

Menurutnya, alat tangkap cantrang menyapu bersih seluruh isi laut, termasuk ikan kakap, kerapu, cumi, dan berbagai jenis ikan lain yang menjadi tumpuan nelayan lokal.

“Dengan cantrang, semua ditangkap. Sekarang apalagi musim ikan, kapal cantrang makin banyak,” tambah dia.

Nelayan asal Desa Sukajeruk itu menambahkan, setiap hari ada sekitar sembilan hingga 12 kapal yang menggunakan cantrang di wilayah perairan Masalembu.

Kapal-kapal tersebut sebagian besar berasal dari luar daerah, seperti Pati, Brondong, Lamongan.

“Pernah warga menangkap kapal dari Lamongan pada 2023, tapi masih banyak yang tetap beroperasi. Kapal cantrang ini bahkan kadang makin dekat ke bibir pantai, ada yang dua mil, ada yang empat mil,” ungkapnya.

Selain cantrang, kapal besar dengan alat tangkap porsen juga ikut beroperasi di sekitar rumpon milik nelayan tradisional.

Mereka menggunakan peralatan modern dan mengambil ikan di lokasi yang sama dengan nelayan kecil.

Nelayan lokal telah berkali-kali menghalau kapal-kapal itu, meski tanpa hasil.

“Mereka tetap datang. Dulu siang saja, sekarang kerja sampai malam. Kapalnya bisa berhari-hari, bahkan berbulan-bulan di laut Masalembu,” ujar dia.

Kapal-kapal cantrang, setahu Sunarto, biasanya berlayar dari arah Kalimantan, kemudian menuju utara, dan saat kembali melintas di perairan Masalembu.

Wilayah Masalembu memang strategis dan kaya ikan karena berada di tengah jalur pertemuan ikan dari Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

Nelayan lain, Jailani (35), asal Desa Sukajeruk, Kecamatan pulau Masalembu, mengaku pemerintah seolah tak berpihak kepada nelayan kecil.

“Kami seperti dipingpong. Polisi bilang itu urusan Polairut, ke kecamatan disuruh ke syahbandar, syahbandar suruh balik lagi ke polisi,” ujarnya.

Jailani berharap ada kehadiran nyata aparat di laut. Sebab nelayan Masalembu sama sekali tidak menggunakan cantrang. Mereka menangkap ikan dengan cara memancing atau menjala.

Namun ketika nelayan lokal berusaha menegur kapal luar yang menggunakan cantrang, sering dianggap main hakim sendiri.

“Kalau diam, laut rusak. Kalau bergerak, kami disalahkan,” keluhnya.

Terakhir, nelayan pernah bersurat ke Ditpolairut Polda Timur agar ada tindakan terhadap pelanggaran di laut.

Nelayan juga berharap dengan adanya pangkalan kepolisian di Sumenep, khususnya di Pulau Masalembu, penanganan pelanggaran bisa lebih cepat dan efektif.

Seingat Jailani, ketika Bakamla (Badan keamanan laut) sempat bertugas di wilayah Masalembu sekitar sepuluh tahun lalu, pelanggaran bisa diminalisir.

“Waktu itu pelanggaran bisa diminimalisir. Tapi sejak Bakamla ditarik, laut seperti tanpa penjaga,” tutur dia.

Hingga kini, menurut Jailani, belum ada solusi konkret mengatasi keberadaan kapal cantrang dan porsen yang meresahkan nelayan lokal di perairan Masalembu.

https://surabaya.kompas.com/read/2025/10/22/135823478/bertahun-tahun-cantrang-dan-porsen-teror-laut-masalembu-sumenep-nelayan

Terkini Lainnya

Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Demi Dapat Internet, Warga Padati Kantor Bupati Aceh Tengah: Ada Mahasiswa Kerjakan Tugas, atau Hubungi Keluarga
Regional
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
KUHAP Sudah Diketok, tapi Aktivis Gen Z Sukabumi Tetap Resah, Kenapa?
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com