"Olahraganya dimundurin di malam hari, dan persiapan air lebih banyak karena cuacanya lembab banget, lebih cepat dehidrasi,” ujar pelari berusia 23 tahun itu.
Termasuk kegiatannya sehari-hari yang mengalami perubahan gaya hidup menjadi lebih “protektif”.
“Sekarang kalau mau keluar jadi sedikit ribet, selain biasanya pakai jaket, harus pakai sunscreen,” imbuhnya.
Menurutnya, fenomena ini tidak lepas dari dampak global, sehingga tidak di Surabaya saja yang cuacanya terasa panas.
Apalagi memang secara geografis kota yang rentan terhadap panas karena kedekatannya dengan laut.
"Cuma Surabaya yang panas, tapi karena dekat laut, jadi lebih terasa dibanding kota lain,” kata Raya Akbar.
Matahari Tepat di Garis Ekuator
Seperti diketahui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kelas I Juanda Surabaya menjelaskan, penyebab panas ekstrem ini adalah posisi matahari yang sedang tepat di garis ekuator, membuat sinar matahari jatuh tegak lurus ke permukaan bumi.
Kondisi ini diperkirakan berlangsung hingga awal Oktober sebagai periode peralihan dari musim kemarau ke musim hujan.
Suhu udara di Surabaya bahkan sempat menyentuh angka 36 derajat celsius, dan bisa terasa seperti 40–41 derajat akibat kelembapan tinggi.
Namun BMKG memprediksi bahwa memasuki pertengahan Oktober, tutupan awan akan mulai meningkat sehingga intensitas panas berkurang—meski kelembapan akan membuat udara terasa lebih “gerah”.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang