Salin Artikel

Pelari Surabaya “Berlomba” Tembus Cuaca Panas Ekstrem, Atur Waktu Jadi Kunci

SURABAYA, KOMPAS.com — Cuaca Kota Surabaya, Jawa Timur dalam beberapa waktu terakhir terasa semakin panas menyengat.

Panas dirasakan bukan sekadar terik biasa, tetapi panas yang seolah menempel di kulit dan membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum keluar rumah.

Bagi para pelari Kota Pahlawan, di tengah suhu yang membakar, perubahan suhu ini menjadi tantangan baru dalam menjaga konsistensi berolahraga untuk tetap sehat, dan memilih beradaptasi daripada berhenti.

Salah satunya, Budi Setiawan, mengaku perubahan cuaca belakangan ini benar-benar terasa di tubuhnya.

“Panas di Surabaya akhir-akhir ini memang nyata dan intensitasnya cukup tinggi, lebih dari sekadar cuaca biasanya."

"Saya sebagai pelari lebih bisa merasakan perubahan ini. Lari pagi sekarang terasa mataharinya lebih terik dari biasanya,” ujar dia.

Menurut dia, efek signifikan terhadap stamina adalah badan menjadi lebih cepat haus. Namun perubahan cuaca juga memaksanya menyesuaikan rutinitas disela-sela bekerja.

“Biasanya lari 10 kilometer, sekarang jadi 7 kilometer. Jamnya juga harus benar-benar on time, start 5.30 pagi langsung lari. Kalau sudah jam 6, banyak yang mengeluh panas,” kata pria yang biasa disapa Budi itu.

Untuk bertahan di tengah suhu ekstrem ini, ia punya kiat tersendiri. Terutama menjaga kondisi dengan lebih banyak minum dan lebih sering agar tidak dehidrasi.

"Hindari minuman berwarna, bergula, dan bersoda. Lebih disarankan sering minum air putih. Setiap hari lari setelah subuhan biar nggak panas, jam 5 pagi sudah start,” imbuhnya sambil tertawa kecil.

Selain itu, cuaca yang panas ini juga mempengaruhi intensitas latihan sehari-hari dan bersama komunitas larinya Riot Indonesia Chapter Surabaya ikut menurun.

“Sekarang lari sehari sekali saja. Kalau nggak males, sore kadang lari lagi, tapi jarang,” kata Budi Setiawan.

Panas yang “Menusuk Kulit” dan Rutinitas yang Berubah

Sementara itu cerita serupa datang dari Raya Akbar, yang juga rutin berolahraga lari. Ia mengaku, sejak September lalu di Surabaya terasa lebih panas dari sebelumnya.

“Sampai nusuk-nusuk di kulit. Biasanya olahraga sore, sekarang nggak mendukung karena panasnya luar biasa. Jadi dimundurin ke malam hari, dan persiapan air harus lebih banyak karena cuacanya lembap banget, cepat dehidrasi,” tuturnya.

Kegiatan olahraga yang biasanya dilakukan sore hari kini ikut terganggu karena cuacanya panas sekali.

"Olahraganya dimundurin di malam hari, dan persiapan air lebih banyak karena cuacanya lembab banget, lebih cepat dehidrasi,” ujar pelari berusia 23 tahun itu.

Termasuk kegiatannya sehari-hari yang mengalami perubahan gaya hidup menjadi lebih “protektif”.

“Sekarang kalau mau keluar jadi sedikit ribet, selain biasanya pakai jaket, harus pakai sunscreen,” imbuhnya.

Menurutnya, fenomena ini tidak lepas dari dampak global, sehingga tidak di Surabaya saja yang cuacanya terasa panas.

Apalagi memang secara geografis kota yang rentan terhadap panas karena kedekatannya dengan laut.

"Cuma Surabaya yang panas, tapi karena dekat laut, jadi lebih terasa dibanding kota lain,” kata Raya Akbar.

Matahari Tepat di Garis Ekuator

Seperti diketahui Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Kelas I Juanda Surabaya menjelaskan, penyebab panas ekstrem ini adalah posisi matahari yang sedang tepat di garis ekuator, membuat sinar matahari jatuh tegak lurus ke permukaan bumi.

Kondisi ini diperkirakan berlangsung hingga awal Oktober sebagai periode peralihan dari musim kemarau ke musim hujan.

Suhu udara di Surabaya bahkan sempat menyentuh angka 36 derajat celsius, dan bisa terasa seperti 40–41 derajat akibat kelembapan tinggi.

Namun BMKG memprediksi bahwa memasuki pertengahan Oktober, tutupan awan akan mulai meningkat sehingga intensitas panas berkurang—meski kelembapan akan membuat udara terasa lebih “gerah”.

https://surabaya.kompas.com/read/2025/10/16/120230578/pelari-surabaya-berlomba-tembus-cuaca-panas-ekstrem-atur-waktu-jadi-kunci

Terkini Lainnya

Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Dukung Konservasi, Bulog Kembangkan Jambu Air Camplong di Sampang
Regional
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Jelang Nataru, KAI Edukasi Keselamatan di Perlintasan Sebidang Surabaya Gubeng
Regional
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Angka Stunting Jember Tertinggi Se-Jatim, Pemkab Gaspol Program Pencegahan
Regional
Tersangka dari Balai Kota
Tersangka dari Balai Kota
Regional
Saat Ungkapan 'Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua' Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Saat Ungkapan "Anak-anak Harus Hidup Lebih Baik dari Orangtua" Terngiang di Pikiran Gus Fawait...
Regional
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Berdesakan, Lama, dan Kurang Sat Set, Dirasakan Generasi Milenial hingga Z saat Naik Angkutan Kota
Regional
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Misteri Angka di Kayu Gelondongan Pasca Banjir Sumatera
Regional
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Gus Fawait: Jangan Saling Lempar Tanggung Jawab soal Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Ini Solusi Gus Fawait Mengentaskan Warga Miskin Ekstrem di Tengah Lahan BUMN
Regional
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Warga Tinggal di Tengah Lahan BUMN Disebut Sejahtera, Bisa Beli Mobil dan Umrah
Regional
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan 'CSR', tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Warga di Tengah Lahan BUMN Bisa Dapat Bantuan "CSR", tapi Harus Ajukan Proposal Dulu
Regional
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Kisah Habibie-Ainun Versi Miskin Ekstrem di Ujung Bukit Perhutani...
Regional
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Warga Miskin Ekstrem di Lahan BUMN Pakai Panel Surya untuk Penerangan
Regional
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Saniman dan Gira: Hidup Serabutan di Lahan BUMN, Menunggu Reforma Agraria
Regional
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Di Persimpangan Sawit, Gajah Tesso Nilo Makin Terhimpit
Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com