Alumnus Seni Rupa Institut Seni Indonesia itu memaksimalkan kreativitasnya demi menekan biaya produksi, agar harga batiknya bisa dijangkau semua kalangan.
Cita-citanya membuat outlet atau galeri batik kini memang belum terwujud. Termasuk keinginanmya memasarkan batik-batik Kertabumi Jember melalui marketplace.
"Kalau saya promosi dan jual online kan gak bisa," kata dia.
Baca juga: Batik Maluang, Warisan Berau yang Tembus Pasar Nasional
Di usia 52 tahun, Misbah masih aktif mengajar, sambil terus mengembangkan usaha batiknya. Ia bahkan mendeklarasikan lingkungan tempat tinggalnya sebagai Kampung Batik pada akhir 2020.
Kini, jika melewati gang-gang Lingkungan Telengsari Kelurahan Jember Kidul, mural batik di dinding-dinding rumah warga adalah pemandangan yang bisa dinikmati.
Tiap tahun pun digelar event bernuansa batik. Mulai dari lomba fashion show batik, membatik bersama, hingga pameran batik.
Misbah merasa, batik bukan sekadar motif di atas kain, melainkan identitas, perjuangan, dan cinta terhadap budaya yang tak boleh pudar.
Dari rumah kecilnya di Jember, warna-warna Nusantara terus ditenun, motif-motif baru terus lahir, dan semangat menjaga warisan Bangsa tetap menyala.
“Batik itu budaya kita. Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?” cetus Misbah.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang