Di rumah sederhana namun penuh warna, tangan-tangan terampil sibuk menorehkan malam di atas kain, menciptakan motif-motif khas yang menjadi identitas Batik Kertabumi Jember.
Usaha batik ini lahir bukan dari rencana besar, melainkan dari situasi terjepit, kala pandemi Covid-19 yang membekukan aktivitas mengajar, hingga mendorong Misbahudin mencari jalan baru.
“Awalnya itu karena Covid-19, semua serba daring. Saya libur mengajar hampir dua tahun. Akhirnya muncul ide buat batik,” ujar Misbah saat ditemui tepat pada Hari Batik Nasional, di Jember, Kamis (2/10/2025).
Misbah adalah guru ekstrakulikuler seni di sejumlah sekolah, jika pembelajaran daring otomatis ia tak bisa mengajar.
Berbekal kecintaan pada seni rupa dan kemampuan menggambar, ia mencoba mengubah hobi menjadi peluang usaha.
Tahun 2020 menjadi titik awal perjalanannya bersama sang istri, Sujayati, mengerjakan semua hal sendiri. Mulai dari desain hingga pewarnaan kain.
Berbeda dengan pembatik lain yang mengandalkan desainer, Misbah mendesain sendiri seluruh motif batiknya.
Keahlian menggambarnya menjadi keunggulan yang membuat Batik Kertabumi berbeda. Desainnya, kata dia, lahir dari tangan dan hati, tak tersentuh teknologi.
“Saya belum pernah pakai komputer, semua manual, saya gambar pakai tangan,” kata dia.
Motif-motif yang diusung tetap kedaerahan, seperti tembakau, kopi, dan unsur alam Jember lainnya.
Namun, warna dan komposisi dibuat unik agar tak serupa dengan batik lain di Jember. Juga motif apa saja bisa ia buat sesuai pesanan dari konsumen.
Seiring waktu, pesanan mulai ramai berdatangan. Testimoni dari mulut ke mulut menjadi jurus utama pemasaran. Tak butuh waktu lama, Misbah pun mulai merekrut tenaga kerja.
Kini, lima perempuan di sekitar rumahnya menjadi bagian dari tim kecil Batik Kertabumi.
Mereka dilatih langsung oleh Misbah, dan sebagian juga belajar melalui Balai Latihan Kerja (BLK).
“Kenapa perempuan? Karena mereka lebih luwes, teliti, dan telaten,” ungkap Misbah.
Tanpa strategi pemasaran digital yang gencar, Batik Kertabumi berkembang secara organik.
Produk mereka kini sudah menjangkau Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan, hingga Maluku.
Beberapa instansi Pemerintah, seperti Pemkab Jember hingga Kodim 0824/Jember, juga instansi swasta, seperti perguruan tinggi, kerap memesan untuk keperluan seragam dan souvenir.
Ia mengaku bisa menerima pesanan dengan motif dan jumlah berapa pun.
Sebagai guru seni budaya dan pengampu ekskul seni rupa, ia mengaku berusaha menanamkan nilai-nilai kecintaan terhadap batik kepada siswanya.
Di rumah, kedua putrinya yang masih sekolah dan kuliah juga dididik untuk mencintai budaya Bangsa.
“Orang kalau pakai batik, apalagi yang desainnya eksklusif, mereka bangga. Itu bentuk mencintai budaya juga,” ujar dia.
Produk batik yang dibuat dari usaha rumahannya adalah batik cap dan tulis. Harga batik di Kertabumi Jember bervariasi. Mulai dari Rp 150.000-Rp 400.000 tergantung jenis dan tingkat kerumitannya.
Batik cap bisa selesai dalam sehari, sementara batik tulis memerlukan waktu hingga seminggu.
Misbah mengaku tidak membandrol batik tulis dengan harga mahal seperti harga pasar pada umumnya.
"Batik tulis paling mahal Rp 400.000, kalau terlalu mahal tidak dilirik pasar," ungkap dia.
Selain mendesain sendiri tiap motif batiknya, Misbah juga membuat cetakan cap motif manual menggunakan kertas.
Alumnus Seni Rupa Institut Seni Indonesia itu memaksimalkan kreativitasnya demi menekan biaya produksi, agar harga batiknya bisa dijangkau semua kalangan.
Cita-citanya membuat outlet atau galeri batik kini memang belum terwujud. Termasuk keinginanmya memasarkan batik-batik Kertabumi Jember melalui marketplace.
"Kalau saya promosi dan jual online kan gak bisa," kata dia.
Di usia 52 tahun, Misbah masih aktif mengajar, sambil terus mengembangkan usaha batiknya. Ia bahkan mendeklarasikan lingkungan tempat tinggalnya sebagai Kampung Batik pada akhir 2020.
Kini, jika melewati gang-gang Lingkungan Telengsari Kelurahan Jember Kidul, mural batik di dinding-dinding rumah warga adalah pemandangan yang bisa dinikmati.
Tiap tahun pun digelar event bernuansa batik. Mulai dari lomba fashion show batik, membatik bersama, hingga pameran batik.
Misbah merasa, batik bukan sekadar motif di atas kain, melainkan identitas, perjuangan, dan cinta terhadap budaya yang tak boleh pudar.
Dari rumah kecilnya di Jember, warna-warna Nusantara terus ditenun, motif-motif baru terus lahir, dan semangat menjaga warisan Bangsa tetap menyala.
“Batik itu budaya kita. Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?” cetus Misbah.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/10/02/190214478/kisah-batik-kertabumi-jember-lahir-dari-himpitan-pandemi-covid-19