SUMENEP, KOMPAS.com – Dengan mata sedikit berkaca, Salama (41) tampak serius memperhatikan anaknya, Dafin Aprilio Pradana (8), yang asyik bermain dream bubble guns angel, pistol gelembung sabun kesukaannya.
Siang itu, Selasa (30/9/2025), Salama dan Dafin berada di mushala Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT) 49 di Kecamatan Batuan, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, yang baru saja diresmikan.
Dafin adalah anak kedua Salama dan menjadi salah satu siswa angkatan pertama di SRT 49 untuk jenjang sekolah dasar.
Baca juga: Sekolah Rakyat di Sumenep Resmi Dimulai, Terapkan Pola Belajar ala Pesantren
Sementara kakaknya, Kenzi Noval Pradana (13), juga tercatat sebagai siswa angkatan pertama di jenjang sekolah menengah pertama (SMP).
Saat itu, Kenzi tidak bersama adik dan ibunya karena sedang bermain di sekitar asrama sekolah.
Tak jauh dari Salama dan Dafin, Tumiyati (40) juga terlihat memandang penuh haru ke arah anaknya, Firdaus, yang tengah mengikuti kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
Baca juga: Hilya, Bocah Desa di Sumenep yang Terampil Berbahasa Inggris di Usia 6 Tahun
Salama dan Tumiyati adalah dua ibu asal Desa Pancor, Kecamatan Gayam, Pulau Sepudi, Kabupaten Sumenep, yang tahun ini mendaftarkan anak mereka ke SRT 49.
Keduanya sudah tiba sejak Senin (29/9/2025) dan diperbolehkan menginap sementara di asrama sekolah. Kebijakan itu memang diberikan khusus bagi orangtua siswa yang datang dari wilayah kepulauan.
Kepada Kompas.com, Salama bercerita, dia menyekolahkan anaknya ke daratan dengan harapan Dafin bisa lebih fokus dan disiplin dalam belajar.
“Kalau di rumah, Dafin biasanya baru bangun sekitar setengah tujuh pagi. Di sini saya berharap dia bisa ikut semua kegiatan sekolah, termasuk bangun pagi untuk shalat tahajud,” ungkap Salama kepada Kompas.com.
Hari ini, Salama dan Tumiyati masih akan bermalam di asrama sekolah dan baru bisa kembali ke Pulau Sepudi besok karena menunggu kapal yang berlayar.
Saat ditanya apakah akan rutin menjenguk anak seminggu sekali seperti yang dianjurkan pihak sekolah, keduanya mengaku masih mempertimbangkan karena biaya perjalanan dari pulau ke daratan cukup besar.
“Kalau tidak punya uang minimal Rp 500.000, tidak bisa sampai ke daratan,” kata Tumiyati.
Untuk sementara, rasa rindu mereka pada anak-anak akan diobati dengan cara menghubungi pihak sekolah untuk menanyakan kabar.
Sambil itu, keduanya berupaya menyiapkan biaya agar suatu saat nanti bisa kembali bertemu langsung.
Bagi Salama, keputusan menyekolahkan Dafin dan Kenzi jauh dari rumah adalah ikhtiar agar anak-anaknya tumbuh lebih mandiri dan punya kesempatan belajar yang sama seperti anak-anak di kota.
“Saya ingin dia punya hidup yang lebih baik dari saya,” tutur Salama pelan dan berat.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang