Perjuangan mendampingi pasien TBC juga dilakukan Suparni, kader asal Karangrejo.
Ia mengingat jelas hari ketika datang ke rumah pasien TBC.
Suparni sudah bersiap memberi semangat agar pasien patuh berobat. Tetapi yang ia dapatkan justru kabar duka dari rumah pasien yang dia datangi.
“Saya menangis. Pasien itu meninggalkan istri dengan gangguan jiwa dan tiga anak kecil. Rumahnya pun tidak layak huni,” kenangnya sambil menarik napas panjang.
Suparni menyebut momen tersebut adalah hantaman besar, tapi ia memilih tidak berhenti.
Tak hanya berhenti memberi dukungan untuk minum obat, Suparni juga meninjau lingkungan tempat tinggal penderita TBC di lingkungan pengawasannya.
Dari data, ada tiga pasien TBC yang meninggal di kawasan itu.
“Tugas kader TBC itu tidak cuma pasiennya saja, tapi lingkungan juga harus kita tinjau. Ternyata di lingkungan situ itu meninggal karena TBC. Rumah itu kurang jendela, kurang ventilasi atau penerangan, tidak ada genting kaca. Rumah juga pintunya harus dibuka, jendela juga dibuka. Karena penyakit TBC itu tumbuh pesatnya di ruangan yang lembab dan lingkungannya kurang pencahayaan,” jelasnya.
Suparni terus teringat kondisi istri pasien meninggal yang mengalami ODGJ.
Dia berusaha membantu keluarga tersebut melalui pemerintah desa untuk memperhatikan nasib ketiga anaknya.
“Kita mau ke sana awalnya dilarang karena takut terjadi apa-apa karena ibunya ini ODGJ, tapi saya nekat karena kepikiran ketiga anaknya siapa yang memperhatikan karena bantuan saja tidak cukup. Akhirnya dari keluarganya saling mendukung,” katanya.
Perjuangan mendampingi pasien TBC yang paling sulit justru berasal dari pasien dengan kondisi finansial tergolong mampu.
Kebanyakan mereka egois dan enggan berobat karena merasa TBC bukan penyakit yang membahayakan.
“Sulitnya mereka itu tidak mau berobat karena egois bahwa mereka baik-baik saja. Justru kita khawatirkan penularannya kalau tidak mau berobat,” kisahnya.
Atas dedikasinya menjadi kader pendamping TBC sejak 2014, pada 2019, Suparni terpilih sebagai kader TBC terbaik Kabupaten Magetan.
Desanya pun menjadi desa percontohan peduli TBC.
Baginya, penghargaan itu bukan soal nama, melainkan bukti bahwa perjuangan kecilnya tidak sia-sia.
“Yang sudah sembuh sudah puluhan,” ujarnya tersenyum bahagia.
Kisah Sukanti justru penuh dengan pengalaman yang menegangkan.