Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Relawan TBC: Dikejar Anjing, Dilaporkan ke Polisi, Semua demi Pasien Sembuh

Kompas.com, 14 September 2025, 15:36 WIB
Sukoco,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

MAGETAN, KOMPAS.com – Di balik upaya pemberantasan Tuberkulosis (TBC) oleh pemerintah, ada kisah para relawan yang jarang terdengar.

Mereka bukan dokter atau perawat, melainkan perempuan-perempuan yang hatinya tak tega melihat orang lain menderita.

Mereka mengetuk pintu rumah, mendengarkan keluhan, mengantar pasien ke puskesmas, hingga menanggung risiko ditolak, dicibir, bahkan kehilangan orang yang mereka dampingi.

Trauma yang Menguatkan

Puspo Dyah Pramuwati mengawali perannya sebagai kader TBC dengan semangat sederhana, membantu orang yang sakit.

Setiap kali mendengar suara batuk yang tak kunjung reda, ia langsung teringat pesan di radio yang dia dengarkan, bahwa batuk lebih dari dua minggu bisa menjadi tanda TBC.

Baca juga: Magetan Bentuk Desa Siaga TBC untuk Tekan Stigma dan Kasus Baru

Ia mengajak orang tersebut untuk periksa ke puskesmas, bahkan sering mengantarnya sendiri.

“Kan di radio yang saya dengar kalau batuk lebih dari dua minggu dimungkinkan itu TBC. Saya ajak yang batuk untuk periksa, bahkan saya antar ke puskesmas,” ujarnya saat ditemui usai kegiatan sosialisasi, Sabtu (13/9/2025).

Namun, semangat itu berubah menjadi trauma ketika tiga orang yang dia dampingi mengeluhkan mual, tidak bisa makan, dan lemas sebagai bagian dari efek pengobatan TBC.

Trauma semakin meningkat ketika mengetahui pasien yang didampinginya ada yang meninggal saat menjalani proses pengobatan karena penyakitnya sudah kronis dan terlambat ditangani.

“Saya trauma karena setelah menjalani pengobatan satu minggu, katanya mual, tidak bisa makan, lemas. Kan orang kalau tidak makan lemas,” imbuhnya.

Baca juga: Kasus TBC di Jakarta Utara Capai 5.942 dalam Setahun Terakhir

Sejak itu, Puspo dihantui rasa bersalah. Ia merasa ucapannya yang mendorong pasien berobat justru mempercepat penderitaan.

“Sampai saya tidak bisa tidur. Rasanya bersalah sekali,” ucapnya lirih.

Trauma itu hampir membuatnya berhenti. Tetapi hati kecilnya tak bisa tinggal diam.

Ia berasal dari keluarga sederhana, tumbuh bersama saudara-saudaranya yang hidup dalam keterbatasan.

Kini, ketika ia merasa lebih beruntung, ia ingin berbagi.

“Akhirnya saya tetap membantu dengan mengedukasi bahwa pengobatannya bisa antara 6 sampai 8 bulan, harus tertib dan disiplin agar bisa sembuh. Saya memastikan TBC bisa sembuh tapi butuh waktu dan disiplin,” kata Puspo.

Ketika ada pasien yang butuh bantuan, Puspo tak bisa menolak.

Dia juga aktif menyalurkan bantuan sembako bagi warga yang tidak mampu melalui Yayasan Bhanu Sejahtera.

“Kalau misalnya saya ada waktu, saya antar, saya daftarkan. Berobat tidak boleh berhenti karena kalau tidak sembuh khawatir menular. Saya hanya bisa menyemangati mereka,” ucapnya.

Cerita Suparni, Air Mata di Depan Rumah Pasien

Perjuangan mendampingi pasien TBC juga dilakukan Suparni, kader asal Karangrejo.

Ia mengingat jelas hari ketika datang ke rumah pasien TBC.

Suparni sudah bersiap memberi semangat agar pasien patuh berobat. Tetapi yang ia dapatkan justru kabar duka dari rumah pasien yang dia datangi.

“Saya menangis. Pasien itu meninggalkan istri dengan gangguan jiwa dan tiga anak kecil. Rumahnya pun tidak layak huni,” kenangnya sambil menarik napas panjang.

Suparni menyebut momen tersebut adalah hantaman besar, tapi ia memilih tidak berhenti.

Tak hanya berhenti memberi dukungan untuk minum obat, Suparni juga meninjau lingkungan tempat tinggal penderita TBC di lingkungan pengawasannya.

Dari data, ada tiga pasien TBC yang meninggal di kawasan itu.

“Tugas kader TBC itu tidak cuma pasiennya saja, tapi lingkungan juga harus kita tinjau. Ternyata di lingkungan situ itu meninggal karena TBC. Rumah itu kurang jendela, kurang ventilasi atau penerangan, tidak ada genting kaca. Rumah juga pintunya harus dibuka, jendela juga dibuka. Karena penyakit TBC itu tumbuh pesatnya di ruangan yang lembab dan lingkungannya kurang pencahayaan,” jelasnya.

Suparni terus teringat kondisi istri pasien meninggal yang mengalami ODGJ.

Dia berusaha membantu keluarga tersebut melalui pemerintah desa untuk memperhatikan nasib ketiga anaknya.

“Kita mau ke sana awalnya dilarang karena takut terjadi apa-apa karena ibunya ini ODGJ, tapi saya nekat karena kepikiran ketiga anaknya siapa yang memperhatikan karena bantuan saja tidak cukup. Akhirnya dari keluarganya saling mendukung,” katanya.

Perjuangan mendampingi pasien TBC yang paling sulit justru berasal dari pasien dengan kondisi finansial tergolong mampu.

Kebanyakan mereka egois dan enggan berobat karena merasa TBC bukan penyakit yang membahayakan.

“Sulitnya mereka itu tidak mau berobat karena egois bahwa mereka baik-baik saja. Justru kita khawatirkan penularannya kalau tidak mau berobat,” kisahnya.

Atas dedikasinya menjadi kader pendamping TBC sejak 2014, pada 2019, Suparni terpilih sebagai kader TBC terbaik Kabupaten Magetan.

Desanya pun menjadi desa percontohan peduli TBC.

Baginya, penghargaan itu bukan soal nama, melainkan bukti bahwa perjuangan kecilnya tidak sia-sia.

“Yang sudah sembuh sudah puluhan,” ujarnya tersenyum bahagia.

Dari Polsek hingga Dikejar Anjing

Kisah Sukanti justru penuh dengan pengalaman yang menegangkan.

Suatu kali, ia bersama rekannya melakukan investigasi Kontak dengan pasien TB di sebuah desa.

Alih-alih diterima, mereka justru dilaporkan ke polisi.

Pasalnya, saat melakukan kunjungan, dia tidak melapor ke bidan desa atau ke kantor desa.

“Waktu itu kader pendamping desa itu tidak lapor ke desa, jadi pihak puskesmas tidak tahu, pihak desa juga tidak tahu, akhirnya kita dibawa ke polsek ditanyai, ada warga melapor. Itu kesalahan kami sendiri karena tidak koordinasi dengan pihak desa,” ujarnya sambil tersenyum mengingat kejadian tersebut.

Sukanti menganggap itu risiko lapangan dan ia tidak mundur, malah semakin semangat.

Untuk tidak mengalami kejadian tersebut, dia mengaku lebih sering berkoordinasi dengan pemerintah dan bidan desa.

“Saya pikir, kalau saya berhenti, siapa lagi yang mau membantu?” katanya.

Tak hanya dibawa ke kantor polsek, Sukanti juga pernah harus jatuh bangun karena dikejar anjing peliharaan pasien. Beruntung pemilik anjing muncul memberikan bantuan.

“Rumahnya di atas bukit, jadi saya lari sambil minta tolong. Beruntung pemiliknya muncul,” kenangnya sambil tertawa.

Meski penuh rintangan, semua rasa lelah Sukanti terbayar ketika melihat pasien sembuh.

Ia masih ingat saat seorang pasien yang sembuh memberinya buah hasil kebun.

“Itu lebih berharga daripada uang ratusan ribu. Rasanya luar biasa,” katanya haru.

Satu Tujuan, Satu Semangat

Para relawan sadar, TBC bukan hanya penyakit, tetapi juga masalah sosial.

Pasien tidak hanya membutuhkan obat, tetapi juga dukungan, pemahaman, dan semangat agar tidak menyerah.

“Mereka banyak yang tidak tahu berobat ke mana, caranya seperti apa. Makanya kita hadir mendampingi mereka, mengantar mereka. Kita juga menyadarkan masyarakat bahaya TBC, memahamkan mereka bahwa TBC bisa sembuh dan mendorong masyarakat tidak mengucilkan penderita TBC, tapi mendorong mereka untuk berobat,” ujar Sukanti.

Di balik suara batuk yang terdengar di sudut-sudut kampung, ada langkah-langkah kecil penuh keberanian dari para relawan.

Langkah mereka mungkin sederhana, tetapi justru menjaga banyak orang agar tetap bisa bernapas.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Detik-detik Copet Beraksi di Stasiun Gubeng, KAI: Wajah Pelaku Sudah Teridentifikasi
Surabaya
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Ajak Warga Jatim Tanam Pohon, Khofifah: Paling Tidak Tiap Ulang Tahun
Surabaya
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
PTPN Sebut Warga Berstatus Karyawan BUMN di KTP adalah Pekerja Borongan
Surabaya
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Banjir Lahar Semeru, Batu Besar Tutupi Jembatan Limpas, Akses 3 Dusun di Lumajang Terputus
Surabaya
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Surabaya
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Surabaya
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
Surabaya
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
Surabaya
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Surabaya
Mahasiswa Terdampak Bencana Sumatera, UTM Bebaskan UKT hingga Semester 8
Mahasiswa Terdampak Bencana Sumatera, UTM Bebaskan UKT hingga Semester 8
Surabaya
Curhat Kurir Paket di Banyuwangi, Kena Omel gara-gara Order Palsu
Curhat Kurir Paket di Banyuwangi, Kena Omel gara-gara Order Palsu
Surabaya
Khofifah Tinjau Pembangunan 2 Jembatan yang Ambruk di Lumajang, Pastikan Rampung 31 Desember
Khofifah Tinjau Pembangunan 2 Jembatan yang Ambruk di Lumajang, Pastikan Rampung 31 Desember
Surabaya
Antre 3 Jam di Pasar Murah Pemprov Jatim di Lumajang, Warga Pulang Tangan Kosong
Antre 3 Jam di Pasar Murah Pemprov Jatim di Lumajang, Warga Pulang Tangan Kosong
Surabaya
Unair Terjunkan Bantuan Teknologi dan Tim Manajemen Bencana ke Sumatera
Unair Terjunkan Bantuan Teknologi dan Tim Manajemen Bencana ke Sumatera
Surabaya
Banjir Bandang Probolinggo, Puluhan Rumah dan 4 Jembatan Rusak, Ribuan Warga Terisolasi
Banjir Bandang Probolinggo, Puluhan Rumah dan 4 Jembatan Rusak, Ribuan Warga Terisolasi
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau