Ecoton (Ecological Observation and Wetland Conservation) dalam pengamatannya menemukan, kualitas udara di Desa Tropodo mengandung mikroplastik dengan Particulate Matter (PM) 2.5 dan 10 yang telah melebihi baku mutu.
Pada tanggal 17 Mei 2025, berdasarkan pengukuran PM 2.5, baku mutu kualitas udara di Dusun Areng-Areng, Tropodo menunjukkan angka 1063 μg/m³. Sementara itu, pengukuran PM 10 menunjukkan angka 1401 μg/m³.
Padahal, untuk ambang batas aman baku mutu udara berdasarkan PP Nomor 22 Tahun 2021 adalah PM 2.5=55 μg/m³ dan PM 10=75 μg/m³.
“Pencemaran udara di Tropodo harus dikatakan memang sudah layak kejadian luar biasa karena ini sudah terjadi selama puluhan tahun,” kata Aktivis Lingkungan sekaligus pendiri Ecoton, Prigi Arisandi.
Ecoton dan Akamsi (Aliansi Komunitas Penyelamat Bantaran Sungai) mengungkapkan, udara yang berada di Desa Tropodo telah mengandung mikroplastik akibat pembakaran di pabrik tahu.
Khususnya di area tersebut, partikel mikroplastik yang ditemukan mengandung 13 fiber dan 12 filamen.
“Proses pembakaran itu seperti plastik yang dicampur kertas kering, jadi mudah terbakar dan panasnya awet, jadi ibaratnya sebagai bahan bakar favorit,” ungkap dia.
Proses pembakaran sampah tersebut juga menjadi ancaman nyata bagi kesehatan karena memicu pelepasan senyawa berbahaya seperti dioksin dan furan.
Untuk itu, Ecoton meminta agar Pemerintah memasang alat pemantau kualitas udara di sekitar pabrik tahu Tropodo untuk menghitung partikel debu (PM2.5, PM10), gas berbahaya (CO, SO2, NO2), serta faktor lingkungan lainnya seperti suhu dan kelembapan.
Campuran limbah plastik yang digunakan untuk bahan bakar di pabrik tahu Tropodo, Sidoarjo, Rabu (13/8/2025)Plastik merupakan bahan yang sulit diurai. Meski dibakar, proses penguraian tidak dapat sempurna.
Apabila hanya diletakkan di atas tanah dalam kurun waktu yang lama, maka akan mencemari lingkungan. Ketika dibakar, sisa bakaran berupa asap akan mengudara dan masuk ke saluran air. Sehingga, air ikut tercemar.
Meski dampaknya belum dirasakan oleh warga setempat dalam waktu yang singkat, praktik tersebut bisa mengakibatkan penyakit paru kronis jenis PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis) atau penyakit paru lainnya.
“Ke depannya nanti tidak hanya ISPA, tetapi juga PPOK, kanker, atau penyakit sistematik lainnya. Karena nano plastik ada risiko terjadinya kanker usus,” kata dia.
Meski begitu, Prastuti menegaskan, jenis penyakit tertentu, misalnya seperti ISPA, tidak bisa dikatakan sebagai penyebab satu-satunya dari hasil pembakaran sampah plastik karena membutuhkan observasi lebih lanjut.
Ia menyarankan agar para pekerja dan warga sekitar masif menggunakan masker serta rutin melakukan pemeriksaan ke faskes terdekat.
Dosen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi tersebut juga menyarankan agar warga menjalani tes spirometri untuk mendeteksi fungsi paru, sayangnya harga tes ini cukup mahal.
“Sehingga apabila ada gejala batuk, pilek, sesak, apalagi kalau lebih dari dua minggu, segera cek ke puskesmas,” tutur dia.