LUMAJANG, KOMPAS.com - Saat banyak orang berebut uang negara untuk kesejahteraan, ternyata masih ada orang dengan hati nurani yang suci memilih melepaskan bantuan negara untuk warga lain yang lebih membutuhkan.
Kisah ini berasal dari sebuah desa yang asri bernama Desa Pakel di Kecamatan Gucialit, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Seorang wanita paruh baya bernama Lamisih (46) membuktikan bahwa bantuan sosial bukanlah akhir dari sebuah perjalanan, melainkan jembatan menuju kemandirian.
Delapan tahun lalu, Lamisih memulai perjuangan bersama suaminya.
Dari nira pohon aren yang tumbuh subur di kebunnya, mereka berdua mengolahnya menjadi gula aren.
Baca juga: Korupsi Bansos Menggurita, Kini 5 Pihak Jadi Tersangka Penyaluran Beras
Awalnya, usaha ini berjalan sangat sederhana. Suami menyadap nira, dan Lamisih mengolahnya di dapur rumah.
Namun, tantangan besar mengadang Lamisih dan suami saat itu. Tidak banyak yang tahu produknya.
Tempat tinggal di desa yang cukup jauh dari pusat keramaian dan minimnya modal untuk promosi membuat usaha Lamisih dan suami kembang kempis.
Gula aren hasil olahan dapur rumah mereka hanya laku jika ada pembeli yang datang langsung ke rumah.
Titik balik datang pada akhir 2017. Lamisih dan keluarganya terdaftar sebagai penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH).
Melalui pendampingan, Lamisih belajar banyak hal, mulai dari strategi pemasaran yang efektif, cara mengemas produk agar lebih menarik, hingga menentukan harga jual yang layak.
"Setelah pendampingan, banyak jalan terbuka. Pemasaran jadi lancar, dan kami lebih percaya diri mengembangkan usaha," kenang Lamisih, Rabu (21/8/2025).
Baca juga: KPK Sebut Negara Rugi Rp 200 Miliar akibat Korupsi Penyaluran Bansos Beras
Seiring berjalannya waktu, usaha gula aren Lamisih kian berkembang pesat.
Gula aren produksinya kini punya pasar tetap, dengan harga bervariasi dari Rp 10.000 hingga Rp 60.000, tergantung ukuran dan bentuk kemasannya.
Kesejahteraan keluarganya seketika meningkat.
Lamisih pun enggan terus menerus menjadi beban negara.
Ia memutuskan untuk mengajukan graduasi mandiri atau keluar dari penerima PKH.
Bukan hanya karena kondisi ekonomi yang membaik, keputusan Lamisih juga didorong oleh niat mulia.
Ia merasa sudah saatnya memberikan kesempatan bagi keluarga lain yang masih lebih membutuhkan.
"Kalau usaha sudah berkembang dan penghasilan stabil, rasanya sudah saatnya lepas. Bantuan itu lebih baik diberikan kepada keluarga yang benar-benar masih kesulitan," tutur Lamisih.
Baca juga: KPK Sebut Negara Rugi Rp 200 Miliar akibat Korupsi Penyaluran Bansos Beras
"Bansos itu bukan untuk selamanya. Kalau kita mau usaha, sabar, dan terus belajar, Insya Allah bisa mandiri," lanjutnya
Langkah ini sejalan dengan visi besar Kementerian Sosial yang ingin mendorong keluarga penerima manfaat agar tidak selamanya bergantung pada bantuan, melainkan mampu bangkit dan mandiri.
Keputusan Lamisih mendapat dukungan penuh dari Bambang, pendamping PKH di Desa Pakel.
Baginya, Lamisih adalah contoh ideal dari tujuan utama program PKH yakni menciptakan keluarga yang mandiri.
Bambang berharap, kedepan banyak keluarga penerima manfaat (KPM) PKH yang akan mengikuti jejak Lamisih, jadi keluarga mandiri dan bisa membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain.
"Semoga kemampuan Ibu Lamisih untuk graduasi ini bisa menjadi inspirasi bagi keluarga lain, terutama KPM dari PKH dan BPNT, untuk bangkit dan memperbaiki kondisi ekonomi," ujar Bambang.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang