“Pernah saya kasih file buku PDF tapi tidak mau, komik tidak mau. Anak-anak kalau suruh baca pusing dan bosan. Terus kebanyakan gadget juga,” terangnya.
Baca juga: Dibakar atau Memudar? Misteri Hancurnya Perpustakaan Alexandria
Sebenarnya, minat anak-anak terhadap buku menurutnya terbilang lumayan. Namun, mereka lebih antusias dengan metode storytelling. Sayangnya, dia tak cukup banyak waktu untuk membacakan narasi cerita.
“Kalau story telling mereka sangat antusias. Intinya bikin kelas kreatif gitu harus menyenangkan buat anak-anak,” beber pria yang berusia 31 tersebut.
Meski perpustakaan yang dibangun di lingkungan desa ini semakin jarang dijamah, namun dia ingin tetap mempertahankannya karena sudah menjadi mimpinya hingga hari tua nanti.
“Punya perpustakaan itu impian saya dari dulu. Saya ingin pas tua nanti tetap sama buku. Saya juga nggak cari uang dari perpustakaan ini kok,” pungkasnya.
Kendati demikian, dia bersama calon istrinya berencana melakukan rebranding agar perpustakaan ini semakin dikenal banyak orang yang menambah minat baca buku masyarakat.
“Saya sama calon istri berencana nanti setelah nikah mau memperbagus lagi. Ada rencana mau dilengkapi sama kedai gitu tapi belum ada waktu,” pungkasnya
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang